[03] Cheek marks

99K 8K 85
                                    








"Pipimu lebam pangeran." Ujar perdana menteri saat tak sengaja berpapasan di ruang administrasi istana.

"Oh ini..." reflek Rezef memegang pipinya sendiri lalu melihat ke arah pantulan wajahnya pada dinding istana yang terbuat dari kristal kaca. "Aku terkena gagang pintu."

"Pftt.." pria itu terkekeh. "Anda masih belum lihai dalam membuat lelucon. Apa anda berkelahi dengan seseorang?"

"Berkelahi? aku? tentu tidak!" bantah Rezef tegas sembari mengingat momen bagaimana ia mendapatkan tanda itu di pipi kanannya.

"Aku mendapatkan lebam ini karena sesuatu yang tak terduga tapi kau tidak perlu khawatir karena aku bisa mengatasi yang satu ini sendiri." Ujarnya seraya mengedipkan satu matanya memamerkan ketampanan sempurna di wajahnya.

"Benarkah? padahal aku tidak keberatan menyingkirkan lalat yang ada di kakimu."

"Sayangnya kali ini lalatnya naik ke wajahku." Rezef terkekeh menertawakan dirinya seolah lucu sebelum kembali pada ekspresi dingin penuh kematian di detik berikutnya.

"Kalau begitu semoga anda menikmati hari anda yang menyenangkan, pangeran. Saya permisi." Ucap perdana menteri itu pergi setelah membungkukkan salam.

"Hari yang menyenangkan?" gumam Rezef menaikan satu alisnya kemudian meneruskan langkahnya menuju ruangan sang ayah. "Orang sialan itu..." gumamnya terhenti ketika mendapati ruangan sang ayah sudah berada di depan sana lalu ia masuk dan menemui pria yang sedang terbaring sakit itu.

"Rezef kemarilah." Ayahnya langsung memanggil begitu Rezef datang.

"Bagaimana keadaan ayah?" tanya Rezef mendudukkan dirinya di tepi ranjang sambil menatap sang ayah yang terbaring dengan wajah dan bibir pucat pasi.

"Semakin bertambahnya hari kondisiku semakin memburuk, nak." Ucap ayah meraih tangan Rezef lalu mengelusnya, putra bungsunya itu sangat berarti bagi hidupnya.

"Aku meminta ayah untuk beristirahat bukan mengadakan rapat." Ujar Rezef bernada sedikit kesal sambil menatap sang ayah lekat dengan tatapan yang sulit diartikan bermaksud apa.

Pria itu menghela nafas. "Aku tahu sebagai seorang ayah bagaimana putraku sangat menyayangiku namun disisi lain aku juga seorang kaisar yang memimpin sebuah kekaisaran. Aku tidak bisa terus menunda kegiatan politik karena alasan sakit."

"Jadi, mengadakan rapat tanpa sepengetahuanku adalah keputusan benar?"

Rezef mulai menggertakkan gigi. "Katakan padaku apakah ayah mulai berubah pikiran karena ucapan kakak?"

Ayah menghela nafas. "Sejujurnya... ya, ayah berubah banyak karena penjelasan kakakmu. Larissa mengajukan berbagai argumen jelas dan pasti tentang hak perempuan yang selalu tertindas di bawah laki-laki."

"Maksud ayah..." tatapan Rezef menajam dan tangannya mulai terkepal, ia berharap sang ayah tidak benar-benar akan mengatakannya.

"Ya." Ucap ayahnya. "Larissa akan naik tahta sebagai Kaisar perempuan pertama di Kekaisaran Carthion."

"Katakan padaku bahwa yang barusan ayah katakan itu sebuah lelucon...?"

"Rezef, nak..." ayah menghela nafas lalu meremas tangan Rezef dalam genggamannya yang hangat. "Aku tahu aku telah berjanji menjadikanmu Kaisar akan tetapi aku tidak bisa mengabaikan ucapan Larissa yang sepenuhnya benar."

"Ayah yakin tak akan menarik kata-kata itu?" Rezef tersenyum miring dengan pandangan lekat menyorot pada sang ayah. "Waktu ayah tersisa lima detik untuk menarik kalimat itu."

"Rezef, nak. Ayah memohon kepadamu--"

"Kalau begitu ayah lebih baik mati saja." Ujar Rezef dingin memotong perkataan sang ayah dan membuat pria itu terkejut dengan wajah syok.

Crown Prince and His Maiden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang