[24] Isn't it fun to call my name?

45.5K 5.1K 75
                                    






"Maaf." Rezef terkekeh pelan. "Sebenarnya aku tahu mereka pasti mengincarmu makanya aku membiarkanmu lari. Kupikir kau tidak akan melakukannya setelah mengetahui kau bisa melakukan apapun disini, di istanaku." Pria itu lalu mengulurkan tangannya yang memiliki banyak bercak darah segar kepada Ash.

Tunggu! apa katanya tadi? maaf!?

Tidak mungkin! ini pasti mimpi.

"Aku minta maaf." Ulangnya mematahkan spekulasi Ash kalau ia sedang bermimpi saat ini. Nyatanya Rezef benar-benar mengucapkan kalimat itu.

Ash berusaha bersikap biasa saja dengan hanya menatapnya. Rezef mengerti gadis itu merasa ngeri jadi ia membawa tangannya untuk dielap ke kemeja putihnya yang sudah berubah menjadi semerah darah juga. Alhasil Rezef mengelap tangannya dibagian belakang kemejanya yang masih berwarna putih dan lumayan agak bersih.

"Kau ketawa?" Ash menatap datar ke arah Rezef lalu menerima uluran tangan pria itu yang telah di bersihkan walau tak mengubah apapun karena warnanya tetap merah hanya saja noda darahnya sudah mengering.

"Habisnya kau naif. Kau pikir aku akan benar-benar membebaskanmu begitu saja?"

"Kau mengatakan ya sebelumnya."

"Artinya kau terjebak."

"Kau membuatku muak."

"Aku suka itu." Rezef membalas masih dengan kekehan pelan lalu perlahan ia membantu Ash berjalan namun gadis itu terluka parah di kakinya. "Kau menikmati kesakitan ini?"

Ash berdecak, ia menatap Rezef dengan pandangan sinis. "Kau bercanda?"

Rezef tertawa pelan. Suasana hatinya sedang bagus setelah menghabisi beberapa orang. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak menyebut namaku. Tahu karena apa?"

"Apa?"

"Larissa merusak namaku diam-diam jadi sebagian besar masyarakat tidak menyukaiku. Dia menyebarkan rumor seperti aku menyiksanya, mungkin?" Rezef mengendikkan bahu seraya menuntun Ash berjalan pelan-pelan.

Gadis itu agak berbeda setelah jatuh ke kolam, dia lebih ekspresif tidak seperti sebelumnya yang hanya diam seperti batu dan selalu meminta maaf untuk hal yang padahal bukan merupakan sebuah kesalahan.

"Kau membuatku takut." Ucap Ash tiba-tiba, "sikapmu berubah-ubah."

"Pftt. Sejujurnya aku akan lebih jinak setelah menghabisi seseorang. Kau takut padaku?"

Ash meneguk ludah. "T-tidak!"

"Tapi kau lari dan memaksa pertunangan dibatalkan secara terus-menerus." Rezef merotasikan matanya malas lalu melihat Ash dari atas ke bawah. "Sekarang sudah puas setelah di kejar-kejar oleh orang jahat?"

"Kau menjebakku!"

"Bisa dibilang ya." Sahut Rezef membenarkan. "Aku sudah bilang akan memakaimu disaat yang tepat. Jadi, jangan khawatir karena sampai saat itu tiba dipastikan kau masih selamat."

"Kau berniat membunuhku?"

"Mungkin. Aku juga tidak tahu kapan bisa memakaimu untuk sesuatu yang berguna lagi." Sahut Rezef mengangkat tangannya yang lain mengusap lembut puncak kepala Ash untuk pertama kalinya.

Ash tertegun. Untuk pertama kalinya Rezef memperlakukannya seperti manusia. Bahkan pria itu dengan baik menggenggam tangannya, membantunya berjalan dan tidak mengamuk meskipun Ash berjalan dengan sangat pelan.

"Masa harus membunuh orang dulu baru tingkahnya seperti manusia?" memikirkannya saja sukses membuat Ash merinding horor lantas ia meneguk ludah guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Sekembalinya ke istana Rezef yang seperti bukan Rezef mengobati luka di kaki Ash. Dia meminta pada pelayan untuk dibawakan sebaskom air hangat serta obat dan pembalut luka lalu membiarkan Ash duduk di tepi kasur sementara ia berlutut di lantai dan mengobati kedua kaki gadis itu secara bergantian.

"Berapa banyak yang dia bunuh tadi? apakah harus sebanyak itu agar bisa bersikap layaknya manusia pada umumnya?" Ash meneguk ludah dengan perasaan takut dan sekujur tubuhnya merinding.

"Berikan tanganmu." Pinta Rezef mengulurkan tangannya pada Ash. Pria itu masih mengenakan kemeja yang berlumuran darah, dia hanya sudah mencuci tangannya menjadi bersih kemudian mengobati Ash.

Ash dengan ragu mengulurkan tangannya pada Rezef. Takut kalau pria itu kumat dan memelintir lengannya yang ada bukannya sembuh malah bertambah semakin parah kesakitan yang dideritanya.

Akan tetapi Rezef benar-benar jinak. Pria itu mengelapnya dengan kain basah yang bersih lalu meneteskan obat luka disana kemudian di olesi salep herbal sebelum berakhir di tutup oleh perban yang dililitkan mengelilingi luka Ash.

"Lukanya akan mengering dalam tiga hari. Hindari air dan jangan terlalu banyak menggunakan kakimu untuk berjalan."

"Bukankah tadi kita baru saja berjalan dari pasar ke istana?" Ash memasang wajah masam lalu mengangguk dengan sedikit senyuman yang dipaksakan di bibirnya.

"Terimakasih."

Rezef mengangguk kemudian berdiri sambil mengusap-usap pipi Ash. Ia suka tekstur kenyal pipi gadis itu kemudian mencubitnya pelan hingga pemilik meringis dan meninggalkan bekas kemerahan disana.

"Soal Lily... dia hanya mengabari keadaanmu padaku." Ucap Rezef memberitahu sesuatu yang mungkin masih membuat Ash merasa penasaran. "Aku tidak tidur dengannya, tidak dengan siapapun juga."

Senyum miring muncul di wajahnya namun senyuman itu terasa hangat, tatapan dari mata biru gelap itu pun tidak terasa tajam maupun mengancam. Itu terlihat sangat normal, semakin normal lagi ketika pemiliknya berucap. "Kau cemburu?"

"Hah? tidak!" Ash membuang wajahnya jauh-jauh. "Kalau sudah selesai tolong pergi aku mau ganti pakaian!"

"Kalau tidak..." Rezef menekankan lidahnya pada sisi bagian dalam pipi kanannya, tangannya ia tekuk di pinggang sambil mengamati Ash. "... mengapa datang ke kamarku dan marah-marah soal itu sambil minta pertunangan dibatalkan?"

"Aku tidak menyukaimu." Tegas Ash.

"Haha... aku tahu. Baiklah, jaga dirimu." Rezef mengulas senyuman manis dibibirnya namun sayangnya Ash tidak melihat itu padahal Rezef sesaat terlihat sangat manis dan tampan. "Selamat malam~"

Lalu dia pergi, menutup pintu kamar Ash dan menyisakan tanda tanya bagi penghuni di dalamnya.

"Dia itu waras atau tidak sih?"





***

Crown Prince and His Maiden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang