[14] Ego

48.7K 5.4K 70
                                    











Mustahil.






Rezef meninggalkannya begitu saja tanpa mencekik atau membantingnya ke dinding setelah membawanya pergi dari situasi tertekan di perjamuan teh Larissa dan membuat wanita itu dipermalukan.

Sekarang tamu yang datang menjadikan Larissa sebagai pusat obrolan mereka secara tak langsung. Mereka tidak perlu mengatakannya lewat mulut, cukup dengan tatapan dan bola-bola mata yang bergulir mereka seolah sedang membicarakan topik yang sama melalui telepati.


Mencibir kelakuan Larissa.


Ash melihat dari kejauhan. Perjamuan itu masih berlangsung tetapi obrolannya kelihatan mati topik. Hanya ada satu dua orang yang menggerakkan bibirnya dari kejauhan. Tempat Ash mengamati adalah balkon utama istana, dia tinggal berdiri agak ke samping lalu mencondongkan tubuhnya sambil berpegangan pada pembatas balkon untuk bisa menyaksikan momen memalukan itu.

Namun tetap saja Ash merasa tidak puas. Keningnya menarik kerutan disana, ia sedang memikirkan sesuatu ide atau apapun untuk menyembuhkan luka pada egonya.

Setelah diperlakukan seperti tadi Ash merasa kalau Larissa perlu diberi pelajaran. Dipermalukan karena mengadakan pesta dalam masa berkabung sepeninggal ayahnya sendiri masih dirasa kurang.

Lantas Ash mengusap-usap dagunya seraya terus memandang ke arah taman pribadi Larissa. Ia bisa bebas mengamati dari jauh tanpa ada seorang pun yang menyadari. Toh, hidupnya terasa agak bebas sekarang karena Rezef sedang tidak dalam masa kambuhnya.

Sebut saja begitu karena pria itu akan mendadak melakukan penyerangan fisik, kekerasan, pemukulan, pencekikan secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Mungkin Rezef bukan gila tapi tapi sudah hilang akal tingkat dewa!

Okay, abaikan pria itu sekarang. Ash merotasikan bola matanya sesaat sebelum akhirnya mendapat sebuah ide keren yang terlintas di kepalanya. Segera ia melaksanakan ide tersebut dengan mendatangi dapur istana dan membuatkan teh untuk Larissa dengan kapasitas gula setengah gelas.

Ash mengaduknya dengan cepat lalu meletakkan gelas tersebut ke atas nampan lalu bergegas mendatangi taman Larissa. Dari kejauhan orang-orang memandanginya dengan tatapan aneh tapi ada juga beberapa yang menatapnya dan tersenyum kecil karena merasa penasaran apa juga mengapa Ash kembali lagi ke perjamuan.

"Eumm... Kak Larissa." Ash tersenyum saat memanggil nama wanita itu. Ketika yang dipanggil menoleh dengan cepat Ash melangkah. "Aku membawakan teh buatanku secara khusus untukmu."

"Maaf karena tadi aku pergi buru-buru untuk sesuatu yang mendadak." Imbuh Ash lagi.

Larissa masih diam malahan mulai mengerutkan kening. Ia terheran sekaligus bingung saat Ash mendekatinya dengan cepat lalu tiba-tiba saja menumpahkan secangkir teh ke tubuhnya. Tepatnya di area leher ke bawah karena sifat air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah.

"Ya ampun..." Ash memasang wajah bersalah, ia melihat ke sekitar lalu orang-orang mulai memandangnya kasihan.

"Maaf, maafkan aku kak. Maaf kak Larissa." Ucap Ash berulang kali kemudian meraih tisu dari atas meja dan mengelapkan pakaian serta leher juga dada Larissa dengan cepat. "Maaf kak. Aku tidak sengaja, tanganku gemetar. Tolong jangan pukul aku lagi, kak. Aku benar-benar minta maaf."

"Oh... astaga..." seorang wanita disana menutup mulutnya dengan satu tangan. "Apa gadis itu baru saja mengatakan bahwa Larissa selama ini memukulnya jika dia melakukan kesalahan?"

"Kasihan sekali. Tega sekali Larissa berbuat demikian?" sahut yang lainnya.

"Ah! Maafkan aku kak," Ash semakin mengencangkan suaranya yang seperti akan menangis itu lalu dengan ketakutan ia membungkuk berulang kali pada Larissa yang masih mencoba mencerna situasi yang terjadi padanya.

"Apa dia gila?" ujar satu dari mereka ditujukan kepada Larissa yang kemudian dia berdiri mendatangi Ash, dia merupakan seorang putri Duke bernama Lucia segera mendatangi Ash dan menghentikan aksi membungkuknya.

"Hei, sudahlah. Itu hanya teh lagipula Larissa akan baik-baik saja. Kau tidak apa?" tanya Lucia khawatir pada kondisi Ash dan memeriksa kedua tangan gadis itu. "Tidak ada yang luka, kan?"

Ash menggeleng berlagak polos.

Larissa menunduk saat satu per satu tamunya memutuskan untuk menyudahi kunjungan mereka dalam perjamuan teh ini dan mulai membubarkan diri disaat yang bersamaan begitu juga dengan Ash yang dirangkuk oleh Lucia untuk diantar kembali ke istana.

Sekilas Ash menoleh pada Larissa. Wanita itu masih duduk dengan kepala menunduk saat tamu terakhir di pestanya meninggalkan tempat itu menyusul yang lainnya. Entah apa yang Larissa rasakan dan pikirkan, Ash tidak peduli karena memuaskan rasa lapar egonya jauh lebih penting setelah Larissa mencoba mempermalukannya duluan.

Keheningan memakan Larissa perlahan sampai-sampai ia bisa mendengar suara daun yang jatuh dari pepohonan ke atas tanah. Larissa mengepalkan tangannya, wajahnya yang tertunduk kini benar-benar memerah secara keseluruhan.

Bukan, bukan karena ia melepuh akibat tersiram teh. Tetapi kenyataan bahwa ia baru saja dipermalukan oleh Ash benar-benar menghantam keras dirinya. Larissa telah sampai pada titik malu yang tidak terbendung lagi sampai rasanya ingin menghilang dari bumi. Terlebih lagi ada sesuatu yang Larissa sadari.

"Tehnya bahkan tidak panas sama sekali." Larissa menggertakkan giginya lalu mengepalkan tangannya erat hingga kuku-kuku panjangnya menembus permukaan kulit telapak tangannya.

"Jadi, ini sudah direncanakan ya?" senyum miring terpatri indah di bibir Larissa usai ia berucap.

Larissa lalu mengangkat wajahnya yang kini memasang ekspresi mengerikan tak jauh berbeda dengan eskpresi Rezef ketika pria itu sedang marah. Larissa tahu Ash melakukannya dengan sengaja karena air yang digunakan untuk membuat teh terasa dingin seperti air biasa pada umumnya ketika menyentuh kulitnya padahal seharusnya teh dibuat dalam kondisi hangat sampai panas.

"Jalang itu! sialan akan kubalas berkali-kali lipat perbuatanmu padaku!" Larissa tersenyum bengis. Dia berdiri dan mulai membanting apapun yang ada diatas meja ke tanah. "Sialan! sialan! brengsek! Ash sialannnnn!"

Rusak sudah reputasinya di hadapan para bangsawan lain. Mungkin sudah seharusnya ia mendatangi Ash dan mengucapakan terimakasih kepada gadis itu. Padahal sebelumnya Ash tidak seperti itu, Ash bahkan tidak berani menatapnya di reinkarnasi Larissa yang sebelum-sebelumnya namun mengapa sekarang dia mendadak jadi lebih pintar dan lebih licik melebihi dirinya?

Larissa tertawa. "Kau pikir aku akan tinggal diam atas penghinaanmu hari ini!?"

"Yakinlah Ash..." tangan Larissa terulur meraih teko berisi teh yang masih panas lalu membantingnya ke tanah hingga pecah tak berbentuk sebagaimana ia akan membuat Ash menjadi sama seperti teko itu. "Aku akan membalasmu setelah kejadian hari ini. Akan kubuat kau menangis atas dihidupmu sendiri!"

Ash berpura-pura tidak mendengar semua itu. Lagi-lagi ia berada di balkon dan menyaksikan kefrustasian Larissa dari jarak jauh. Melihat wanita itu berantakan dan dikuasai kemarahan penuh sama sekali tidak membuat Ash merasa takut malahan ia senang karena telah berhasil membalas perbuatan Larissa dengan triple kill.

"Kelihatannya perempuan gila itu belum jera?" Ash menimang kalimatnya sendiri lalu tersenyum menyeringai. "Yang satu sinting yang satu gila. Lihatlah betapa menariknya hidupmu yang sekarang Ash...?" kemudian ia tertawa lagi.

Tapi, bukankah seperti ada sesuatu yang terasa agak aneh?

Ash menyadari sesuatu. "Larissa Cadfael adalah protagonis utama perempuan dalam cerita ini... kok jahat?"






***

Crown Prince and His Maiden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang