[20] His mom

44.9K 4.9K 64
                                    










Kematian permaisuri membawa kabar duka di seluruh penjuru wilayah Carthion. Anne, kepala pelayan yang paling setia dan dahulu merupakan pelayan pribadi sang permaisuri menangis paling lama di sisi makam wanita itu.

Ketika orang-orang sudah pergi dan kembali ke rumah masing-masing karena hujan turun pada sore itu lain halnya dengan Anne. Wanita itu masih menangis disana, berulang kali merapalkan kata maaf kepada makam permaisuri.

"M-ma-af... saya tidak pernah bisa memberitahu anda bahwa bayi anda sudah meninggal. Putra anda yang telah anda rawat dan besarkan selama ini adalah bayi perempuan itu. Bayi milik perempuan yang di penjarakan oleh Yang Mulia Kaisar."

Tangisan Anne pecah setelahnya. Dia menyimpan rapat-rapat rahasia itu tanpa bisa mengatakannya pada siapapun. Ia juga mendengar kabar kalau perempuan itu (ibu kandung Rezef) mulutnya telah ditempel oleh besi sehingga tidak lagi bisa bicara lalu dari bulan ke bulan kesehatannya juga semakin menurun.

Sebulan setelah kepergian Permaisuri, Anne bertanggung jawab mengurus Rezef yang baru saja menginjak usia dua belas tahun. Sudah enam tahun berlalu sejak pertemuannya dengan perempuan yang berada di penjara tanpa mengetahui kalau itu adalah ibunya.

Anne juga tidak tahu identitas perempuan itu (ibu kandung Rezef) mustahil juga baginya untuk mencari tahu karena jika sampai Kaisar menangkap basah dirinya mungkin ia tidak akan diampuni tetapi setiap hari Anne merasa tidak mampu berbohong lebih lama kepada Rezef. Anak laki-laki itu perlu tahu siapa ibu kandungnya dan seperti apa nasibnya berakhir namun suatu hari.

Anne akan mengatakannya suatu hari.

Tepat saat perempuan itu akhirnya meninggal.

"Perempuan itu adalah ibumu."

"Anne?" Rezef tidak mengerti. Ia tidak terlalu pintar untuk mencerna kata-kata Anne yang tiba-tiba lalu Anne menunjuk ke arah makam wanita itu yang bersebrangan dengan makan Permaisuri.

"Makam ibuku?" tanya Rezef ketika Anne menunjuk ke makam permaisuri.

"Bukan." Ujar Anne meralat, "permaisuri bukan ibu kandungmu tapi perempuan itu..." ia mengarahkan tangannya menunjuk pada makam yang masih baru di kuburkan sehari yang lalu itu.

"Kau adalah bayi dari perempuan itu. Permaisuri memiliki seorang putra tapi dilahirkan dalam keadaan meninggal lalu Permaisuri kebetulan jatuh sakit dan tak sadarkan diri selama tiga hari. Selama tiga hari itulah Kaisar mencari bayi yang paling mirip dengan bayinya yang meninggal. Bayi dengan kriteria mata berwarna biru. Matamu... biru, kan?"

Rezef menatap pantulan wajahnya sendiri di atas genangan air hujan. Ia melihat matanya berwarna biru gelap dan sangat indah seperti kata orang-orang yang melihatnya tapi Rezef ingat mata perempuan yang ada di penjara waktu itu saat usianya enam tahun.

"Mata perempuan itu tidak biru, Anne."

"Tidak ada yang tahu identitas ayah kandungmu. Kaisar bilang ayahmu salah satu korban perang. Dia meninggal. Kemungkinan besar kau mendapatkan mata biru itu dari ayahmu. Permaisuri memang bermata biru namun birunya tidak segelap milikmu. Kau bisa melihat mata Larissa, kan?"

Rezef mengangguk. "Kau adalah putra perempuan itu, kau bayi perempuan itu. Maafkan aku karena aku bahkan tidak mengetahui identitas ibu kandungmu sampai dia meninggal."

"Apa ini bercanda?"

Anne menggeleng. "Tidak. Kehidupan istana memang sekejam ini terutama karena Kaisar adalah orang yang berkuasa dan bisa melakukan apa saja."

"Perempuan itu juga mengatakan hal yang sama..." celetuk Rezef pelan.

Anne tersenyum tipis. "Maka dia adalah ibumu. Kaisar telah merenggut bayinya, sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Maafkan aku karena baru bisa mengatakannya sekarang, pangeran."















Kembali ke saat ini.

Rezef menghela nafas. Di masa sekarang ia begitu benci mengingat cerita masa lalunya. Siapapun orang tuanya ia tidak peduli, mereka hanya penghambat baginya. Meskipun Rezef tumbuh dengan kasih sayang tapi di sisi lain ia diajarkan kekejaman untuk layak menjadi Kaisar.

Rezef menanggalkan jubah putih panjang dengan hiasan perak di sekeliling manset dan kerah yang dikenakannya menyisakan kemeja putih dan celana panjang hitam di tubuhnya lalu ia berjalan ke arah jendela untuk mengambil pedangnya yang ia letakkan disana.

Sambil menatap ke arah luar ia teringat kejadian kemarin. "Dia benar-benar pergi dari sini?" helaan nafas keluar dari belah bibir Rezef. "Dasar gadis tak tahu diri!" umpatnya mengatai Ash tentu saja, hanya Ash yang paling membuatnya merasa campur aduk dalam emosi yang lebih di dominasi oleh perasaan marah.

Senyuman lembut tidak pernah terlihat di wajahnya. Hanya ada senyum bengis sesaat setelah ia melihat pedangnya kemudian berjalan cepat keluar dari kamar. Rezef merasa ia butuh sesuatu untuk merefresh otaknya agar lebih jernih. Ash telah pergi tapi mendadak ia ingin menyentuh bibir gadis itu.

Perasaan yang menjengkelkan! sialnya ia terlalu jijik untuk menyentuh bibir lain selain milik Ash. Membayangkannya saja membuat Rezef ingin memuntahkan lambungnya keluar lewat mulut.

"Kau mau kemana?" Larissa menahannya di tengah perjalanan melewati lorong saat akan sampai pada pintu depan istana.

"Bukan urusanmu." Sahut Rezef dingin, tatapannya tertuju pada tangan Larissa yang memegang lengannya. Ia tatap tajam sampai wanita itu sadar dan melepaskan tangannya dari sana.

"Ada pesan dari wilayah Lilith. Kau lupa ya? mereka akan datang dalam waktu dekat untuk menjalin ulang silaturahmi."

Rezef tersenyum miring. "Aku peduli?" tunjuknya pada diri sendiri.

Larissa menghela nafas guna mengendalikan emosinya. "Kau Pangeran Mahkotanya. Kau harus bertemu dengannya atau setidaknya memberi sambutan padanya."

"Kau saja. Tidak ada bedanya." Balas Rezef acuh lalu berjalan melewati Larissa.

Wanita itu berjalan lebih cepat dan berhasil mensejajarkan langkahnya. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? kemarin aku melihat tunanganmu lari. Dia benar-benar kabur dari sini?"

Rezef berdecak malas merasa tidak perlu membahas hal itu lagi tapi Larissa malah membuatnya jadi ingat. "Pertanyaanmu membuatku mual, kak."

"Aishhh! baiklah pergi sana tapi jangan sampai tidak pulang ya? aku mengkhawatirkanmu belakangan ini."

Rezef hampir tertawa. Bukankah seharusnya kalimat itu lebih cocok Larissa sematkan untuk dirinya sendiri? mengkhawatirkannya? sebaiknya Larissa khawatir pada hidupnya sendiri karena Rezef sangat ingin menghancurkannya sampai ke titik paling rendah dan menyedihkan.

"Jangan sentuh aku." Perintah Rezef tepat ketika Larissa akan menahan bahunya, hampir mendarat diatasnya. "Akan ku potong tanganmu jika melakukan itu lagi."

Larissa meneguk ludah dan dengan cepat menarik tangannya lalu ia peluk sebab Larissa tahu Rezef tidak pernah mengkhianati ucapannya sendiri sedangkan Larissa, ia masih ingin hidup dengan dua tangan.





***

Crown Prince and His Maiden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang