Malam🙇🏼♀️
🧚🏻🧚🏻
"Dengerin yang dokter bilang tadi. Usahakan makan yang lunak dulu. Minum obat yang teratur. Dalam beberapa hari bisa sembuh karena nggak ada dislokasi. Hanya memar makanya nyeri. Kamu harus nurut sama anjuran dokter. Paham, Zi?"
"Iya, Om." Zia masih nggak berani membantah. Soalnya muka Edward juga terlihat serius banget. Meski dia cuma lihat dari samping karena mereka sedang berjalan di lorong rumah sakit.
"Jangan cuma iya aja. Paham beneran nggak kamu?" Edward bertanya ulang. Dia sampai memutar tubuh hingga berhadapan dengan cewek berseragam SMA itu.
"Iya, aku paham." Zia mengangguk yakin. Lagi-lagi menunduk setelahnya. Ditatap sama Edward dengan cara seperti itu masih tidak bisa hatinya toleransi. Ada degupan kuat di dadanya yang makin mendominasi.
"Good. Sekarang kita ke atas buat tebus obat. Setelah itu makan siang. Kamu udah lapar?"
Zia mengangguk kaku. Belum bisa berkata-kata saat Edward merangkul bahunya untuk berjalan beriringan. Mungkin bagi Edward itu hal biasa, tapi Zia ... jelas merasa ini di luar batas kemampuannya untuk menahan diri dari rasa menyukai. Niat hati ingin downgrade perasaan dari cinta ke suka, malah kayaknya upgrade dari cinta dikit ke cinta yang agak banyak.
"Kok diem? Masih sakit ya?"
Zia berjengit, karena pertanyaan Edward bersamaan dengan merendahnya tubuh lelaki itu, dan bisikan di telinga membuat darahnya berdesir.
"Nanti saya bantu pijit rahang kamu kayak yang dokter contohin tadi," kata Edward, merasa bersalah. Meski belum dengar cerita lengkapnya, tapi dia yakin dirinya yang salah di sini.
"Eng-nggak perlu, Om. Aku bisa sendiri," jawab Zia gugup.
Edward menatap kedua mata Zia yang kelihatan beda. Apa bocah ini takut? Apa dia terlalu banyak menekan Zia sampai jadi kayak gini? "Kamu ... nggak nyaman ya sama saya?"
Zia sontak balas menatap Edward. Dia nggak nyaman sama perasaannya sendiri, bukan nggak nyaman dengan keberadaan si tampan dan menawan. Siapa coba yang nggak betah berdekatan dengan laki-laki super perfect kayak Edward?
Tapi mana mungkin Zia jujur, yang ada diketawain karena Edward cuma anggap dia bocah. Omongannya mungkin dianggap angin lalu sama si paling merasa dewasa.
"Kata dokter juga aku disuruh jangan banyak ngomong dulu. Jadi mending Om diem dulu deh, jangan nanya terus. Nanti rahangku makin nyeri gimana?" decak Zia. Lagi-lagi berhasil bikin alibi atas rasa gugupnya yang di luar kendali.
"Oh, oke. Maaf." Edward diam setelah itu. Tapi rangkulannya belum terlepas.
Mereka ke lantai atas untuk menebus obat. Tidak butuh waktu lama karena tidak banyak yang antre. Sialnya, saat Zia pengin duduk di kursi tunggu aja, Edward malah menariknya berdiri buat ke loket. Jadilah tidak ada kesempatan sama sekali untuk Zia bernapas lega sebentar. Karena Edward terus membuatnya berada di sisi lelaki itu.
Setelah nebus obat, Zia kembali nurut saat Edward tidak lagi merangkulnya sambil berjalan. Justru meremas lembut lengan atasnya. Membuat Zia ketar-ketir.
"Saya minta maaf," ucap Edward dengan lirih. Zia kayaknya lagi merasa sakit banget makanya diam.
Dan benar, cewek itu tidak menjawab dengan kata. Cuma anggukan.
"Mau makan siang apa? Bubur?"
"Siang-siang kok bubur." Akhirnya Zia berani berucap lagi. Kali ini dia menggeser langkah untuk terlepas dari rangkulan Edward. Bahaya banget. Yang ada nanti lama-lama dia pingsan di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...