Halooooooooo ....
Happy reading🧚🏻🧚🏻
" ..., mau?"
"Bercanda terus sih, Om." Zia tidak menanggapi tawaran Edward. Dia membenarkan letak duduknya dan menatap depan.
Padahal kan Edward nggak bercanda. Kalau Zia mau duduk di pangkuannya, dengan senang hati Edward menerima. Kalau nolak ya udah dia nggak akan maksa. "Mau nanya apa tadi, Zi?"
"Oh iya, itu." Zia jadi ingat sesuatu. Dia menghadap kanan sambil menyender di jok mobil. Matanya menangkap side profile seorang Edward yang tidak pernah berhenti memikat hatinya. Apa Zia salah kalau dia kadang cemburu sama orang-orang yang bisa menikmati keindahan Edward seperti ini? Padahal Edward nggak melakukan apa pun untuk membuat semua orang kagum. Tapi dia tau akan sangat kekanakan kalau mencemburui hal nggak mendasar. Apalagi Edward nggak dengan sengaja mencari perhatian ke banyak wanita. Emang dasarnya aja Edward udah ganteng, wangi, penuh karisma. Nggak bisa nyalahin Edward juga sih. Zia aja yang berlebihan.
"Zi?"
Zia meringis karena sadar dari tadi cuma diam memikirkan hal yang nggak-nggak. "Om ... beneran yang ngasih jam tangan sama temen-temen dan guru-guruku?"
Edward mengangguk. Dia mengulurkan tangan untuk memberi usapan ringan di puncak kepala Zia. "Kenapa? Ada yang belum kebagian?"
Zia berdecak. "Kelebihan tau. Kemahalan. Om kan bisa ngasih makanan aja. Apa kek, yang bisa dimakan bareng-bareng. Jam tangan branded itu bikin aku nggak enak sama Om Ed."
Edward tersenyum. Dia meraih tangan Zia untuk digenggam. "Dienakin aja kalo sama aku."
"Kok jadi pake aku. Saya-nya mana?"
"Ya udah, saya." Edward nurut aja. Kalau Zia nggak suka dengan perubahan panggilan ini, dia bisa apa? Nggak mau dia meributkan hal sepele. "Maaf kalau menurut kamu cara saya salah. Waktu itu saya inget kebetulan ada teman yang pegang salah satu brand jam tangan di sana. Jadi saya pikir lebih gampang dapat barang itu daripada harus cari makanan atau lainnya."
"Tapi ratusan biji loh itu, Om. Nggak rugi emangnya?"
"Nggak ada yang rugi selama apa yang saya keluarin itu buat kamu." Edward tersenyum saat lihat ekspresi Zia yang kaget. "Lagian itu bentuk permintaan maaf saya ke mereka. Guru-guru kamu sama teman-teman kamu panik semua katanya gara-gara saya. Mereka berhak dapat itu karena udah peduli ke kamu, saya berterima kasih ke mereka."
Giliran Zia yang terdiam. Jadi, Edward melakukan ini juga untuk berterima kasih karena Zia dipedulikan. Bukan semata-mata karena mereka adalah teman-teman Zia.
"Apa itu alasan kamu nggak balas chat saya seharian kemarin, Zi? Kamu marah karena saya kasih gift sebanyak itu ke mereka?"
Zia tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Dia hanya menatap Edward dengan sendu karena memang benar tebakan Edward. Zia sempat kesal. Takut ngerepotin Edward. Kalau jam tangan biasa sih Zia nggak masalah. Ini ... dia benar-benar kaget waktu temannya bilang dikasih sama omnya Zia. Oleh-oleh katanya. Mungkin bagi Edward sepele, tapi untuk teman-teman Zia yang tersebar dari banyak kalangan, itu jelas sesuatu yang mewah.
"Maaf udah cuekin chat-nya Om."
"No. It's okay, Zi." Edward menarik tubuh Zia agar mendekat. Merasa kalau dia punya kesempatan untuk itu, jadi tanpa aba-aba diangkatnya tubuh Zia agar berpindah ke pangkuannya. Respons Zia yang ikut mengangkat kaki agar memudahkan duduk, membuat Edward yakin kalau sebenernya gadis itu juga mau.
"Dih, ujung-ujungnya modus." Zia mencibir sembari menepuk pelan pipi Edward dengan kedua tangan.
"Kamu juga mau kan? Ngaku," tuduh Edward.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...