18. Ternyata Sakit Juga

12.9K 1.3K 217
                                    

Halooo, jumpa lagi setelah 10 hari😵‍💫

Btw, fast access di Karyakarsa udah sampai part 20 baru aja. Selamat membaca di sini dan di sana 🥰❤️

🧚🏻🧚🏻

Rasanya kayak mimpi!

Perasaan kemarin Zia masih galau brutal. Berusaha melawan waktu kurang dari 24 jam yang rasanya cepat banget. Tujuannya biar nunda-nunda ketemu keluarga besar Edward. Tau-tau sekarang Zia udah berdiri di sini.

Dia ada di dalam rumah keluarga Edward yang besarnya seperti istana. Istana modern lebih tepatnya. Di antara banyak sekali ruangan dan jalan serta lift yang telah dilewati, Zia nggak ingat satu pun jalurnya.

Alasan satu-satunya ya karena sekujur tubuh Zia mendadak tremor sejak keberangkatan tadi. Apalagi di mobil, Zia pura-pura tidur daripada ketahuan nahan gugup dari cara bicaranya.

"Kamu kenapa diam dari tadi, Zi?"

Dan siapa sangka keterdiaman Zia ternyata disadari oleh si mama. Mau ngulet sekarang dengan beralasan ngantuk seperti di mobil tadi juga percuma. Matanya segar banget, yang lemes hatinya aja.

"Laper kayaknya dia, Ma. Ya, Zi?" Seperti biasa, Ogi datang sebagai penyelamat. Kini merangkul bahu adiknya yang tadi keliatan bingung mau jawab apa.

"Bukannya kalian tadi sore ngabarin lagi makan?" tanya Laras—si mama—ke Ogi.

Memang orang tuanya baru sampai di rumah beberapa jam lalu dari Surabaya. Lanjut ke apartemen Ogi buat berangkat bersama. Ogi kelupaan kalau dia sempat ngabarin sedang makan di luar sama Zia. Aduh, sekarang pake alasan apa lagi?

"Oh itu. Iya, Ma." Ogi nyengir. "Tapi kalo belum makan pepes ikan kata Zia namanya bukan makan."

"Ck, ada-ada aja." Laras mengusap punggung putrinya, memastikan baik-baik saja. "Lapernya dikit, sedang, apa banyak?"

Zia meringis. Udah harus ikut skenario Ogi nih. "Dikit aja. Tapi kalo ada pepesnya, lapernya jadi banyak."

Laras tertawa.

"Sejak kapan adik kamu jadi suka banget sama pepes ikan, Gi?" Kali ini suara seorang pria. Siapa lagi kalau bukan suami dari mamanya abangnya Zia. Namanya Hendra.

"Nggak tau tuh, Pa." Ogi jawab sambil melirik ke Zia. Memastikan kalau adiknya itu udah siap menghadapi apa pun di depan nanti.

Dia paham perasaan Zia, kalau lihat orang yang disuka tapi nggak disukai balik pasti bawaannya ingin menghindar. Apalagi Zia udah confess, ada rasa ingin menjauh dan sedikit rasa malu karena ditolak. Itu wajar. Ogi mengerti.

"Seingat Mama dulu waktu masih SD aja Zia sukanya telur balado bulet. Nggak mau ganti menu seminggu, sampe Mama takut dia bisulan." Laras jawab lagi.

"Ih, Mama." Zia berdecak. "Udah dibilang kalo belum ada penelitian yang bilang telur bisa bikin bisulan."

Laras makin tertawa. Dia mengecup pelipis anak bungsunya dengan gemas. "Jadi sejak kapan suka pepes ikan? Sejak SMP kayaknya ya?"

Zia mengedikkan bahu. Padahal dalam hati udah tau pasti jawabannya apa. Iya, sejak SMP. Bucin pepes karena lihat orang makan dengan lahap. Bikin nafsu makannya yang waktu itu masih naik turun di masa awal remaja jadi meningkat.

"Mana aneh juga. Sekepala-kepalanya diembat. Disedot." Ogi geleng-geleng kepala.

"Malah lebih suka bagian kepala, Gi." Hendra menanggapi. "Waktu itu Zia pernah ngambek waktu Papa beliin pepes ikan yang kepalanya udah dipenggal dan dijual terpisah."

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang