45. Masih Mungil

12.8K 1.1K 199
                                    

Part 55 di KK udah up ya guys ☺️

Happy reading💋

🧚🏻🧚🏻

Sial! Jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi lebih dan Zia baru bangun tidur!

Lebih dari kepanikan biasanya, kali ini Zia benar-benar takut. Dia jarang terlambat datang kalau ada janji. Tapi gara-gara semalam nggak bisa tidur karena banyak memikirkan kemungkinan hubungan mereka pagi ini setelah ketemu, dia jadi kesiangan. Niatnya nggak memejamkan mata sekalian tapi apalah daya nangis-nangis nggak jelas membuat kantuknya datang menjelang pagi.

Bahkan alarm ponsel yang udah full volume tetap aja nggak sanggup membuat Zia bangun. Dia dengar alarm beberapa kali tadi, tapi entahlah dia merasa sangat kesal dan mematikan ponsel begitu saja.

Sekarang Zia kelabakan sendiri. Nggak sampai sepuluh menit, dia sudah siap dengan pakaian jogging. Kalau ada yang tanya gimana caranya mandi secepat itu, ya siram pake air lah. Masih nanya!

Intinya yang penting tubuhnya basah biar nggak lengket sehabis lari santai nanti. Karena sekarang dia yakin matahari udah setengah naik. Langkahnya bahkan sangat terburu-buru membuat bulir keringat menetes satu satu. Kalau begini, sampai di hadapan Edward nanti udah bau!

Arg. Tapi Zia nggak peduli. Dia sedia parfum untuk menyemprotkan sesuka hati ke tubuhnya kalau udah ngerasa gerah.

"Bang, tolong anterin aku cepet!!!" teriak Zia padahal kakinya belum menyentuh tangga terbawah. Dia tau Ogi pulang ke rumah semalam. Jadi walaupun nggak lihat sosok kakaknya di ruang tengah, dia tetap teriak.

Benar saja, Ogi ternyata baru dari arah dapur. Lelaki itu mengernyit lihat adiknya kelihatan panik. "Ke mana, Zi?"

"Aku ada janji jogging sama Om Ed, Bang." Kali ini suara Zia melirih. Napasnya memburu. Dia kalut. Rasa nggak tenang mulai menguasai pemikirannya. Segala dugaan tentang reaksi Edward nanti tergambar begitu jelas. Dia ingin meminta maaf tentang ketidakjujurannya seminggu lalu, tapi kenapa ada satu kesalahan lagi yang diperbuat pagi ini? Bagaimana kalau Edward marah dan justru mengiyakan kata putus sebelum Zia sempat menarik kata-katanya?

"Ayo, sekarang." Ogi nggak mau tanya banyak hal. Nanti malah cuma nambah panik adiknya. Dia sadar banget Zia keliatan gugup. Nggak ada waktu untuk nanyain kenapanya. Lebih baik anterin sekarang.

Zia jalan lebih dulu ke pintu depan, menunggu abangnya muncul dari garasi rumah. Dia nggak sempat berpikir mau naik motor atau mobil, tapi sepertinya Ogi berinisiatif mengendarai motor. Mungkin untuk menghindari macet.

Di tengah perjalanan yang terasa sangat lama, Zia kehilangan kendali untuk nggak memikirkan yang seharusnya nggak perlu. Karena saat buka ponsel—dia baru sempat menyalakannya—ada beberapa panggilan dari Edward. Tanpa pesan. Beneran cuma call. Tiga kali. Iya, cuma tiga kali. Yang terakhir pukul 8. Apa lelaki itu udah pergi sekarang dari tempat mereka janjian?

"Bang ...." Zia memeluk pinggang Ogi dan mendekatkan kepalanya ke depan agar suaranya terdengar. "Bisa lebih cepet?" pintanya setengah merajuk. Dia nggak bisa bayangin kalau Edward udah pergi. Dia harus mulai dari mana buat ngajak ketemu lagi?

"Pegangan, Zi."

Nurut, Zia langsung pegangan erat-erat. Laju motor semakin cepat. Dia nggak yakin berapa menit kemudian semua berlalu. Tapi saat motor berhenti, dia melompat turun begitu saja.

"Makasih, Bang."

"Kayak ojek aja Abang," decak Ogi geleng-geleng kepala waktu nerima helm dari adiknya.

Zia tersenyum tipis dengan permintaan maaf yang sangat karena buru-buru. Dia melambaikan tangan sekilas ke Ogi dan segera berbalik. Langkahnya tergesa memasuki kawasan sebuah apartemen yang pernah Edward bilang punya adiknya. Meski pagi hari kemarin-kemarin mereka memang nggak jadi jogging, tapi dia udah tau lokasi jogging track-nya di mana.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang