20. Jadi Ini Alasannya

14.2K 1.4K 364
                                    

Seriusan ini lama bukan karena sibuk sama hidup, tapi sibuk menggali palung shopee cocoki😖😩

Maapin ya lama bgt. Btw juga, fast access part 22 udah up ya di KK

🧚🏻🧚🏻

"Emang aku peduli?"

Keduanya diam. Benar-benar diam dan saling kaget sendiri. Zia terkejut karena sebenarnya menyesal sudah melontarkan itu. Dalam hati cukup senang Edward menahannya tetap tinggal. Meski tak berarti apa-apa bagi lelaki itu—pasti cuma tentang sopan santun, tapi Zia tetap bahagia. Oh, apa dia yang terlalu kepedean menganggap Edward peduli?

Sedangkan di sisi lain, Edward kaget sekaligus kesal dengan jawaban Zia yang berani. Dia tau Zia orangnya ceplas-ceplos, tapi ... sedikit pun nggak pernah menjawab dengan nada ejekan seperti itu sebelumnya. Seolah melawan titah Edward. Padahal dia hanya menasihati hal baik.

Bukankah Edward benar, Zia nggak boleh balik dulu sebelum acara selesai? Itu nggak sopan, apalagi cuma demi nemuin cowok, terus nerima roti atau kue apalah tadi. Omongan Edward nggak ada yang salah, tapi kenapa malah Zia ngelawan?

"Oh, saya tau," gumam Edward. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana pendek dan dia menatap Zia yang kini menunduk ke ponsel. "Mau nemuin cowok itu?"

Zia mengernyit, mau tidak mau mendongak untuk menatap Edward. Maksudnya apa sih bawa-bawa temannya? Kalau bahas sopan santun ya sopan santun aja nggak perlu pake nyebut cowok itu segala.

"Saya kan udah pernah bilangin kamu, Zi," suara Edward merendah, lebih ditekan. Apalagi Zia keliatan kesal. Di mata Edward, Zia menunjukkan sikap nantang. "Kamu mending fokus persiapan buat pendidikan. Nggak usah mikirin cowok."

"Apa sih?" dengus Zia. Sumpah dia bingung. Kenapa Edward suka banget tiba-tiba sok nasihatin begini? Kemarin katanya nyuruh Zia suka sama yang seumuran aja. Sekarang diprotes lagi. "Ini temenku kok. Om kan yang bilang kalau aku harus banyak bergaul sama temen-temen seumuran—"

"Tapi nggak pacaran juga!" sentak Edward.

Zia mengerjap. "Om nggak usah sok jadi abangku deh. Bang Ogi aja nggak keberatan aku sama siapa aja."

"Saya laki-laki. Dan saya tau gimana tabiat mereka."

Zia memutar bola matanya. Jengah.

"Kamu belum cukup dewasa, jangan pacaran dulu. Saya yakin Ogi setuju sama pendapat saya."

"Nggak."

"Iya, dia setuju. Cuma bingung gimana caranya ngomong ke kamu soalnya kamu susah dibilangin."

Ini terlalu jauh. Zia nggak nyangka Edward menganggapnya adik yang suka melawan ke Ogi. Dengan bukti apa Edward bisa menilai dia sebagai orang yang begitu? Zia nggak terima!

"Udah deh, Om. Males." Zia mengibaskan tangan. "Lanjutin nggak saling kenalnya aja. Itu lebih baik."

"Jangan harap. Nggak akan."

"Terserah." Zia langsung berbalik dan hampir melangkah. Seperti dugaannya, Edward tidak membiarkannya pergi semudah itu. Dia nggak kaget saat langkahnya dicegat. Edward tiba-tiba udah menjulang tinggi di depannya. Menatap tajam, gestur yang tenang, dan tentu saja ... ganteng.

Sial, gimana bisa Zia semudah itu terpesona tiap ada di depan Edward?

"Kamu mau kita nggak saling kenal? Apa itu artinya ...." Suara Edward melirih.

Zia nggak mau mendengarkan lagi. Dia berniat kabur. Lebih gampang melakukan itu daripada hatinya yang hancur. Tapi kalimat Edward selanjutnya membuat ubun-ubun Zia rasanya kebakar. Panas.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang