25. Kencan Satu Malam

14.6K 1.3K 284
                                    

Pagi ediii😚

🧚🏻🧚🏻

"Om kenap—Om!!!" Zia terpekik saat tubuhnya ditarik makin lekat dalam dekapan. Dia sampai susah napas saking eratnya kedua lengan Edward yang memeluknya. Tapi dia nggak bisa berkutik apalagi saat merasakan bahunya memberat. Ternyata Edward menjatuhkan kepalanya di sana, membuat sebagian bobot tubuh lelaki itu terpaksa harus Zia tanggung.

Edward menyerah dengan pengendalian dirinya. Sudah dibilang dia susah nahan keinginan kalau ada partner. Makanya empat tahun ini dilaluinya dengan mudah tanpa jajan sembarangan—jangan sampai. Soalnya emang jomlo. Dia nggak mungkin lampiasan kebutuhan biologisnya ke sembarang wanita. Nggak minat. Tapi kalau sama pacar kan beda lagi.

"Om baik-baik aja kan?"

Nggak! Teriak Edward dalam hati. Dadanya masih bergemuruh hebat. Keningnya semakin ia rebahkan di bahu Zia. Andai Zia tau kenapa Edward begini, udah pasti cewek itu lari ketakutan. Maka dari itu Edward luruhkan dulu semua rasa-rasa yang mengganjal di bawah sana.

"Jangan deket-deket kayak gini, Om." Zia berusaha menjauhkan kepala Edward yang terkulai di bahunya. Bukan apa, dia takut aroma tubuhnya lagi nggak wangi. Secara kan dari pagi sampai siang di luar ruangan. "Aku bau keringet. Awas dong."

Edward menggeleng. Saat tadi dahinya yang nemplok di bahu Zia, sekarang dia menoleh, giliran pipinya tersandar di pundak cewek itu. "Nggak bau apa-apa, Zi."

"Boong. Aku udah seharian di bawah pohon beringin loh!"

Edward terkekeh lirih. Mau ketawa aja lemes. Nahan Hercules ternyata lebih susah daripada nahan lapar. Dia harus sering-sering deep talk biar yang di bawah sana lebih jinak kalau lagi dekat sama Zia. Karena Edward nggak mau usahanya empat tahun ini yang libur having sex sia-sia. Kenyataan kalau Zia masih belum tersentuh semoga bisa menjadi rem untuk dirinya. Semoga.

Setelah beberapa saat mengumpulkan kekuatan, Edward berdehem dan berusaha duduk seperti semula. Dia sempatkan untuk menghirup lekuk bahu Zia sebentar. Beneran nggak bau keringat. Cuma sisa-sisa parfum aja. Zia pasti alasan karena nggak pengin dekat-dekat.

Saat udah duduk tegak lagi, bukannya menjauh malah Edward mendekat. Menyempatkan untuk menggigit kecil rahang Zia karena gemas.

"Ih, apaan sih, Om!" pekik Zia sambil refleks mengusap bekas gigitan tadi.

"Mau bales? Sini, berani nggak?" tantang Edward, memajukan pipinya ke Zia sambil menunjuk-nunjuk rahangnya sendiri. Dalam hati ketar-ketir dan berdoa semoga Zia nggak balas. Karena kalau sampai terjadi, nggak tau lagi apa dia bisa nahan lebih dari ini.

"Nggak mau. Itu cambangnya nanti nusuk-nusuk."

Edward diam-diam merasa lega. "Padahal ini halus, Zi. Mau coba pegang?" Nyoba keberuntungan kedua walaupun kalo dikabulin pasti dia sendiri yang kewalahan.

Untung aja Zia melotot. "Nggak!"

Edward tertawa. Tangannya masih membelai cambangnya sendiri. Kayaknya dia harus lebih sering bercukur. Zia mungkin lebih suka laki-laki yang mukanya tanpa bulu-bulu halus kali ya?

"Dasar bocah," ejek Edward.

"Aku bukan bocah!"

Edward tersenyum miring. Dia berdiri karena tadi dengar ada suara bel. Kayaknya makanan udah sampai dan diantar naik ke sini sama salah satu pengurus apartemen. "Bocah. Bocah. Zia bocah."

Zia hampir membalas tapi Edward malah nyenyenyenye terus sambil jalan ke arah pintu. Sesekali noleh ke arahnya dan ketawa, mungkin takut dikejar atau dilempari cushion sofa. Padahal Zia malas ngejar. Biarin aja om-om itu ngejek sesuka hati.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang