39. Dinner Panas (Bag. 1)

15.2K 980 104
                                    

Fast access-nya tungguin menyusul. Kurang dikiiiiit di sana😗

Happy reading☺️

🧚🏻🧚🏻

"Ed, woy! Bengong aja lo!"

Edward hampir terjungkal waktu bahunya ditepuk Ogi. Matanya mengerjap cepat dan dia terkekeh pelan. Tangan kanannya refleks mengusap tengkuk dengan cengiran konyol. Gila, dia nggak nyangka ternyata lihat Zia tersenyum padanya aja udah bikin ritme debaran di dadanya nggak menentu. Padahal udah sering mendapati Zia senyum, ketawa, ngambek, nangis, hampir semua. Tapi ini keliatan beda. Senyumnya Zia manis banget. Khas senyum seorang perempuan ke laki-laki, berseri-seri, cerah, kedua mata sampai menyipit, bahkan tulang pipinya terangkat menggemaskan. Makanya Edward didera perasaan grogi yang memalukan.

Padahal seingatnya pagi tadi mereka akhiri pertemuan dalam keterdiaman. Setelah dia tanya apa Zia bisa janji nggak melain hati, tiba-tiba gadis itu terdiam lama. Edward mengartikan bahwa mungkin Zia belum yakin padanya untuk janji sepenting itu. Tidak apa, wajar kalau Zia belum bisa menentukan pilihan. Yang dia salut adalah Zia nggak mengucapkan janji dengan sembarangan. Namun Edward percaya Zia hanya perlu diyakinkan.

"Ed!!!"

Edward mengerjap. "Wow." Suaranya agak tercekat. Refleks dia membasahi bibir bawah dengan sapuan ringan lidahnya, karena menyadari dia terlalu grogi sampai kehilangan kata-kata. Kekagumannya nggak bisa disembunyikan lagi. "How beautiful you look, Zi."

"Cuih!" Ogi yang bereaksi. Dia bergidik dengar kalimat Edward tadi. "Nggak zamannya salting, Saaatttt. Geli gue liatnya. Kayak abege aja tingkah lo."

Edward mendelik ke arah Ogi. Ngerusak suasana banget manusia satu ini. Lagian ngapain Ogi antar adiknya sampai pintu segala. Edward bisa menjemput Zia dengan cara yang baik dan benar bahkan sampai ke dalam rumah. Menghadap orang tua Zia untuk ambil hati juga jagonya. Sayangnya Ogi masih terus nggak izinkan dia ngobrol serius tentang hubungan Edward-Zia ke om sama tante. Nggak tau kenapa.

"Lo lebih parah kalo sama Key!" desis Edward.

Sontak kalimat itu membuat Ogi dan Zia menganga. Si Ogi segera memberi tatapan menghunus ke Edward karena memang niatnya nggak menunjukkan ke Zia bahwa dia tau Zia mengetahui hubungannya. Aduh, nggak tau gimana kalimatnya. Pokoknya gitu.

Sedangkan Zia yang ngira kalau Ogi nggak tau kalo dia pernah mergokin, jelas aja protes lewat tatapan ke Edward. Kenapa laki-laki itu bocorin kalau mereka tau hubungan Key-Ogi? Kan harusnya diem-diem aja!

"Kalian berdua udah sama-sama tau jadi nggak perlu kucing-kucingan," saran Edward. "Kecuali sama yang belum tau, baru perlu dijaga."

Zia cukup kaget. Eh, serius abangnya udah tau kalo dia dan Edward mergokin waktu di kamar itu? Tapi dari tingkah pasrah Ogi sekarang kayaknya emang benar. Pintar banget ternyata abangnya ini menyembunyikan sesuatu.

"Lo bener, Ed. Gue juga capek," keluh Ogi. Mukanya kayak nggak ada semangat. Kalimatnya terdengar lemah dan nggak punya daya apa-apa. "Tapi kalian janji, jangan bilang ke siapa-siapa."

"Aman." Edward mengarahkan jempolnya. Iya, aman selagi bukan Ogi sendiri yang teledor dan berujung kepergok orang lain lagi.

"Zi." Giliran Ogi menatap adiknya yang masih tercenung. Dia takut Zia melihatnya dengan cara berbeda sekarang. "Abang minta maaf nggak bisa kasih contoh yang baik. Maaf ya. Abang emang berengsek, tapi semoga kamu nggak benci sama Abang."

Zia mengerjap. Kenapa malah jadi sendu begini suasananya. Ogi keliatan kasihan banget. Seperti udah menahan cerita bertahun-tahun lamanya. Apa dia melewatkan sesuatu? Jelas, banyak. Ogi yang pacaran sama sepupu mereka dan dia nggak tau, itu aja udah termasuk rahasia besar. "Bang," gumamnya. Dia nggak boleh egois dengan anggap Ogi seberengsek itu. Hidup Ogi nggak selamanya sesuai sama yang Zia ingin. "Abang bisa cerita ke aku mulai sekarang. Aku nggak anggap Abang berengsek kok."

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang