41. Om Kak!

12.6K 945 161
                                    

Part 51 juga udah up yaaaw. Yang panas meledaq ada di sana awokwok

Di sini kita regangkan leher dulu. Buruuuu komen yang banyak, lusa up lagi 😗

🧚🏻🧚🏻

"Balik aja kita, Zi," bisik Edward tepat di telinga Zia yang masih diam berpandangan dengan Gyna beberapa meter di depan sana.

"T-tapi ...." Raut wajah Zia terlihat ragu sekarang. Dia mendongak ke Edward dan masih menimbang-nimbang keputusan. Mereka saling menatap beberapa saat, lengkap dengan usapan Edward di punggungnya.

Zia bimbang, tapi teringat kalimat Gyna yang bilang pacarnya Edward kekanakan. Dia nggak mau nama Edward jelek cuma karena nggak izinkan lelaki itu sekadar makan malam dengan keluarga Gyna.

Memang Zia masih belasan tahun dan nggak tau bagaimana cara pikir orang dewasa. Tapi dia mau belajar. Kalau mengiyakan makan malam adalah satu bukti bahwa hatinya cukup lapang, maka Zia lakukan.

Menarik napas beberapa saat, Zia mendapat sebuah tekad yang lebih bulat. Dia menatap Edward dengan yakin. "Jadi aja, Om. Udah diliat Kak Gyna juga," balasnya berbisik.

Giliran Edward yang bimbang. Bukan baru saja dia merasakan ini. Tapi udah sejak pagi-pagi tadi. Dia belum berani lebih tegas untuk menolak keinginan Zia. Apalagi ini memang salahnya yang sudah janji akan mempertimbangkan hanya demi Zia mau menginap tadi malam.

Keraguan Edward bukan tanpa sebab. Dia ketakutan kalau harus membawa Zia pada masalah-masalah di masa lalunya. Kesadarannya tergugah bahwa rasa cinta membuatnya takut Zia terlepas dari genggaman. Hanya dengan lihat foto Gwen di dinding ruang tamu tadi, Edward mendadak kalut, takut, resah, jika Zia tau bahwa ternyata Edward juga jajaran orang yang sudah membuatnya kecewa sejak awal. Lihat bagaimana Zia menceritakan kekecewaan akan sikap Ogi, itu seperti melihat penolakan pada Edward suatu hari nanti. Zia mungkin masih bisa menerima Ogi karena abangnya, tapi Edward?

"Om." Zia menyenggol lengan Edward yang sedari tadi diam.

Edward menelan ludahnya susah payah. Mendadak pelipisnya berkeringat dan dia seka sekilas. Ini seperti bom waktu, cepat atau lambat pasti Edward ditinggalkan. Ada cemas yang menghantuinya di tiap langkah dan itu membuatnya gelisah. Berada di rumah ini sama sekali tidak tenang. Bukan akan kenangan di masa lalu, tapi justru hal yang bisa terjadi ke depannya. Zia. Dia mengkhawatirkan Zia mengetahui apa yang tidak seharusnya.

"Kak." Zia mengubah panggilan karena wajah Edward memucat. Tangannya menelusup dalam lengan Edward dan merangkulnya. Berusaha membuat lelaki itu baik-baik saja. Mungkin emang berat menghadapi ingatan-ingatan di rumah ini. Apalagi hubungan Edward dan Gwen udah seserius itu. Nggak mudah pastinya, dan Zia mewajarkan.

"Iya." Edward berdehem demi menetralkan suaranya yang memberat. Dia menoleh ke Zia dan tersenyum, menyempatkan mengusap puncak kepala gadis itu pelan-pelan. Mungkin dia yang kelewat parno. Dia yakin rumah ini masih akan memberinya kenyamanan, termasuk ... tidak memunculkan hal-hal yang membuat Zia banyak menaruh ketidakyakinan akan Edward.

Hanya perlu beberapa langkah, Edward dan Zia sampai di hadapan Gyna. Perempuan itu masih terdiam. Mungkin mencerna apa yang terjadi. Jujur, Edward tau Gyna sudah lewat beberapa saat lalu. Lebih tepatnya waktu dia sedang kissing dengan Zia. Bayangan langkah seseorang jelas terlihat di tembok walau dia membelakangi akses pintu masuk ruangan super sempit tadi.

Itulah alasannya memutar posisi dengan Zia. Dia jadi bersandar di tembok sekaligus menghadap pintu. Agar Zia tidak melihat ada seseorang yang mematung, memergoki keduanya yang sedang kissing. Memang Edward nggak tau malu. Tapi persetan dengan apa pun, dia nggak mau terinterupsi. Dia sedang meyakinkan diri sendiri bahwa Zia masih bersamanya, bisa dia jangkau, peluk, sentuh, cium, semuanya.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang