29. Saya Ajari Kamu, Oke? (Bag.2)

16.4K 1.4K 307
                                    

Wah udah seminggu ternyata. Baru sadar wkwk

Karena kmrn masih ada yang tanya fast access maksudnya gimana. Jadi cuma akses cepat di Karyakarsa. Di sana update-nya lebih cepet, biasanya seminggu nyampe 3 kali. Isinya sama aja kok kayak di wattpad. Nggak ada bedanya, kecuali nanti adegan hawt (kalo ada. Gamungkin ada si awokwok). Intinya gitu gaisss. Di sana udah sampe part 37. Yang mau nunggu di wattpad gapapa, kalo kadang-kadang pengen ngintip di sana juga gapapa. Intinya sama aja kayak di wattpad yaa, beda kecepatan update-nya ajaaa.

Happy reading🥰

🧚🏻🧚🏻

"Om kenapa? Lagi sedih ya?"

Pertanyaan polos itu jelas membuat hati Edward yang dari tadi nggak berhenti mellow, makin menjadi. Andai Zia tau kalau Edward rasanya ingin nangis sejak tau perihal siapa yang nyuapin pepes ikan dan bikin hidupnya lebih baik!

"Iya, saya lagi sedih." Edward ingin mengetes reaksi Zia. Mereka baru saja keluar dari lift dan berjalan melewati lorong.

"Sedih kenapa? Aku mau kok dengerin."

Edward tersenyum. Dia mengusap pelan puncak kepala Zia. "Nanti kalo udah sampe."

Zia mengangguk. Jujur dia kasihan juga. Sejak di mobil tadi tatapan Edward kayak beda. Agak sendu-sendu gitu. Apalagi genggaman dengan tangannya yang nggak terlepas meski sambil nyetir, sesekali Edward mengeratkan seolah menguatkan diri. Zia nggak tega rasanya. Apa pun yang membuat Edward sedih, Zia akan dengarkan. Walaupun dia cengeng juga sebenernya. Berujung nangis bareng kalo ceritanya menguras air mata. Berabe sih, tapi nggak apalah menawarkan diri jadi tempat curhat.

Saat masuk ke dalam apartemen, Edward segera memeluk Zia. Dari tadi udah ditahan dan dia nggak sanggup lagi. Padahal baru juga buka pintu, tubuh mereka sudah berdempetan.

"Om, posisinya kurang pas," keluh Zia. Dia didekap erat banget, tapi kepalanya setengah mendongak. Nggak enak pokoknya. Mau dibenerin biar nyaman nggak mungkin bisa. Udah terlanjur kencang tangan Edward melingkar di tubuhnya.

"Mau di sofa aja?" tanya Edward, sekilas mengecup pelipis Zia. "Biar nggak capek. Kaki saya juga pegal."

Zia menggigit bibir bawahnya. Masa iya pelukan direncanain begini? Jadi aneh kalau misal mereka melepas dekap, lalu jalan ke sofa, dan mulai pelukan lagi. Tapi berhubung dia mode nge-lag, makanya nggak sempat protes. Yang ada malah nurut aja waktu Edward membimbingnya duduk di sofa.

"Pelukan yang gimana maunya?" tanya Edward. Santai banget seolah kalimat itu nggak menerbitkan jedag-jedug di hati Zia.

Karena lagi-lagi Zia masih mode nge-lag, jadi dia nurut aja. Tau-tau tubuhnya udah didudukkan di samping Edward, lalu didekap lagi.

"Begini nyaman?" tanya Edward. Posisi mereka hampir sama kayak kemarin. Nggak ada yang aneh. Sebuah dekapan yang hangat dan nyaman. "Zi?"

"I-iya ... Om," cicit Zia sembari membenamkan wajah di dada Edward. Mukanya panas. Nggak tau kenapa.

"Tapi nanti nggak bisa lama. Lama-lama kamu sesak, susah napas," gumam Edward sembari berpikir. Soalnya kepala Zia tenggelam di dadanya. Kalo dilepas namanya bukan pelukan lagi, tapi rangkulan. Dan Edward nggak mau. Dia maunya badan mereka nempel tanpa celah. "Atau nggak ... gini aja," cetusnya.

"Eh, O-om!" Zia nggak menyangka tiba-tiba posisinya yang dipeluk dari samping tadi jadi berubah. Edward naik lebih dulu, merentangkan kaki di atas sofa panjang. Lalu menarik tubuh Zia agar ikut naik juga, duduk di sela dua kaki Edward.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang