65. Past is Past

9.7K 1K 363
                                    

Selamat membacaaaaa freeennn☺️

🧚🏻🧚🏻

"Deket kalo itu Tangerang-nya. Nggak nyampe sejam dari sini. Lewat rumah April juga. April mau diantar dulu atau abis Rora?"

"Ke Rora dulu aja, Bang Ogi. Sambil jalan-jalan," kekeh April.

"Lo nggak apa-apa, Zi, kalo nganter gue dulu?"

"Nggak apa-apa kalo dia." Ogi yang jawab. "Iya kan, Zi?"

Sentuhan di puncak kepala membuat Zia tersadar. Dia mengerjap dan mengalihkan pandangan dari jendela di samping kiri, ke arah Ogi yang sedang menyetir. Dia ingin bertanya 'apa?', tapi Ogi lebih dulu tersenyum seakan coba mengerti dengan keterdiaman Zia sedari tadi.

"Oke kata Zia," jawab Ogi untuk mengonfirmasi.

Zia menunduk, berusaha menahan degup di dadanya yang makin nggak karuan. Apalagi saat usapan Ogi di kepalanya berubah jadi tepukan ringan, tanda kalau abangnya mencoba mengerti kenapa Zia tidak fokus.

Entah apa yang sekarang hatinya rasa. Sangat banyak kebingungan yang tiba-tiba membuat Zia bungkam. Detik saat kakinya menginjakkan kaki di bandara, mendadak dia tertegun. Kilasan kenangan itu nggak seharusnya muncul saat ini.

Zia telah sanggup mengeringkan tangisannya selama setengah tahun, sebelum menemukan seseorang yang baru meski pada akhirnya gagal. Lalu seakan hatinya nggak mau menyerah untuk mencari pengganti, secepat itu juga dia mencoba menjalin hubungan lagi.

Semua membuat Zia yakin bahwa dirinya telah berhasil rela. Nggak tepat rasanya jika dia menyebut lupa. Nggak semudah itu. Dia hanya rela. Rela melepas Edward. Rela menemukan fakta bahwa laki-laki yang pernah sangat dia kagumi dengan semua hal yang dimiliki, tidak lain hanya seseorang yang menyembunyikan kejutan besar untuk diledakkan saat Zia sedang cinta-cintanya. Saat Zia telah melepas sangat banyak impian demi cintanya yang bodoh.

Jadi wajar kan jika Zia bingung apa yang terjadi pada dirinya saat ini? Rasa-rasanya sudah sangat lama dia kembali pada kehidupan yang menenangkan di Melbourne. Makanya dia setuju untuk meramaikan resepsi pernikahan kakaknya dan kembali ke kota kelahiran. Karena dia pikir, semua akan baik-baik saja.

Zia tidak perlu berpikir lama untuk mengatakan 'iya' saat Ogi bertanya apa Zia sanggup pulang? Tentu saja 'iya'. Berbeda saat dulu Ogi dan Key melangsungkan pernikahan yang hanya dihadiri keluarga kecil mereka, dengan beberapa orang yang diwajibkan hadir. Zia bilang tidak, karena memang dia belum sanggup ingat pada hal menyakitkan di sini.

"Tidur, Zi?"

Bisikan yang terdengar lirih telah mampu membuat Zia mengembuskan napas berat. Dia menoleh ke Ogi dengan senyum kecil di bibir, meski sebenarnya pandangannya berembun. Zia mensyukuri kacamata hitam yang menyembunyikan matanya.

"Abang kira tidur," kekeh Ogi. Dia sempat melirik ke belakang dan dua orang di sana sudah memejamkan mata. Pasti kelelahan. "Jadi ... berapa hari di rumah?"

"Seminggu aja. Nggak libur lama, Bang."

Ogi mengangguk-angguk. "Adrian nggak diajak pulang?"

"Keluarga dia yang nyusulin ke Melbourne. Jadi nggak balik Indo." Zia masih belum bilang kalau dia putus hubungan dengan Adrian. Selain dirinya sendiri, lainnya memang nggak ada yang tau—April, Rora, atau Zoey sekalipun.

"Abang belum pernah ketemu Adrian sih, tapi dia keliatan anak rumahan ya? Nggak aneh-aneh, lurus."

Zia mengangguki itu. Emang bener. Saking rumahannya, 24 jam di depan monitor.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang