Om Edi gagal mentidak-mungilkan🤧🌝
🧚🏻🧚🏻
"Saya tau caranya biar nggak mungil lagi."
Mendadak suasana jadi canggung. Setidaknya itu yang dirasakan Zia. Kalau Edward entah, buktinya lelaki itu masih mempertahankan senyum segaris bibir dengan kepala dimiringkan ke satu sisi tepat di depan wajahnya. Zia berusaha mempertahankan posisi tubuh, khawatir kalau bergerak sedikit aja semua akan jadi beda.
Zia bukan pura-pura bodoh dengan tanda-tanda itu. Apalagi senyum tipis Edward, pandangan yang tertuju ke kedua mata Zia dan pelan-pelan bergerak menurun ke arah bibir. Zia menahan napas pada saat yang sama, detik di mana Edward memperhatikan lekat bibirnya dengan mata sedikit sayu. Tarikan napas Edward terdengar memberat saat bola mata itu kembali menyatu dengan tatapan Zia. Kerlingan yang diberi Edward dengan satu sudut bibir yang terangkat membuat jantungnya berdebar.
Apa masuk akal berhadapan dengan orang setampan ini bisa memicu debaran yang nggak terkendali, juga rasa ingin mempertahankan jarak mereka agar nggak menjauh sama sekali?
Cuma Edward yang bisa membuatnya mendadak diam dengan wajah terbakar dan memanas. Tapi anehnya Zia nggak mau berpaling. Dia kelewat suka pada tiap raut yang Edward tunjukkan saat menatapnya. Setidaknya untuk hal ini, Zia yakin Edward nggak pura-pura menyorotkan rasa sayang dan peduli. Zia merasa teramat disayangi meski nggak mau menduga Edward menyayanginya atas dasar apa.
"Jangan pernah ninggalin saya ya, Zi," gumam Edward tiba-tiba. Memang di awal tadi niatnya menggoda balik Zia. Tapi melihat raut Zia yang memerah hanya karena ditatap, perasaannya mendadak tumpah ruah. Dia merasa gadis ini membutuhkannya, menyayanginya sungguh-sungguh. Hanya Zia yang tanpa dia beri pujian berlebihan tapi sudah menunjukkan sebesar apa rasa yang dipunya.
Edward pikir, udah saatnya dia menemukan seseorang yang nggak merasa rendah dan kalah hanya karena terlihat menyayanginya. Udah saatnya dia berperan untuk menuntun arah hubungan, tentu saja tanpa mengabaikan kenyamanan dan keinginan Zia. Edward nggak mau berada dalam hubungan di mana usulnya selalu dibungkam, hanya karena dia jadi pihak yang lebih mencintai dan dianggap menerima semua hal meski menyakitinya.
Tapi bersama Zia, Edward merasa cinta mereka setara. Setidaknya untuk saat ini. Karena ke depannya dia nggak bisa menjamin perasaan Zia akan berubah atau tidak setelah melewati banyak langkah yang sudah pernah Edward tapaki. Tapi Edward jelas bisa menjamin di usianya yang telah dewasa, bahwa perasaan ini sangat tepat dan benar. Dia akan terus memupuknya agar tidak berkurang bahkan hilang sama sekali.
"Ninggalin ... yang gimana maksudnya?"
Edward tersenyum dengar pertanyaan itu. Dia menyentuhkan jemarinya ke pelipis Zia, menjumput beberapa helai rambut yang keluar dari ikatan untuk menyelipkannya di belakang telinga.
"Jangan ninggalin yang jauh," jawab Edward setelah merangkum wajah Zia. "Saya nggak bisa jauhan. Juga jangan ninggalin saya buat laki-laki lain."
Sontak aja bibir Zia mengerucut. "Aku kan udah bilang berkali-kali. Bisa pacaran sama Om aja masih nggak nyangka, gimana ninggalin buat laki-laki lain?" dengusnya.
Senyum Edward makin melebar walaupun sadar ada panggilan Om lagi. Tapi dia nggak peduli karena tertutup kenyataan kalau Zia ini sangat apa adanya. Meski kadang malu-malu tapi nggak pernah terlihat terpaksa tiap menunjukkan bahwa gadis itu memang mencintainya. Ini yang membuat Edward terpikat dengan semua hal tentang Zia.
"Saya juga." Edward menjawab sembari beringsut untuk menanamkan satu kecupan di pipi Zia. Cukup lama.
"Juga apa, Om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...