Warning tipis aja. Gausah tebel-tebel kayak part depan-depan-depannya lagi *eh
Happy new year lusa wkwk. Karena lusa gak update jadi kuucapin sekarang
🧚🏻🧚🏻
"Bikin yuk."
Lengan kokoh itu menyelubungi tubuh Zia membuatnya bergeming. Reaksi Zia hanya diam tak bergerak seolah-olah kemampuan untuk berpikir telah luruh bersamaan ke-tidak-sanggupan kedua kakinya untuk bertumpu.
Napas setengah mendesis yang lolos dari mulut Edward saat menggigit ringan daun telinga Zia membuat gadis yang sedang mencoba mengembalikan akal sehat itu, seketika merasa gagal dengan tujuan awal. Nyatanya, dalam dekap Edward dan bibir yang amat sangat lihai menaburkan perasaan menggelitik di tiap-tiap bagian dari dirinya selalu sanggup melemahkan pertahanan.
Alih-alih menjawab dua kata Edward yang dia yakin hanya bertujuan untuk menggoda, Zia justru merapatkan bibir demi menahan desahnya terlolos. Ini terlalu gila rasanya. Sesapan bibir dingin di tengkuk membuat tubuhnya tersandar sempurna ke dada Edward.
Beberapa detik selanjutnya Zia mendapatkan kesadaran. Dia harus bersyukur karena denting lift menyelamatkan apa pun itu yang hampir terjadi di antara mereka. Edward terlalu berani. Zia bahkan baru sadar kalau telapak tangan Edward sudah berhasil merayap naik dan hampir sampai di dadanya.
Mereka tidak mengatakan apa-apa. Zia sedikit limbung saat Edward berpindah ke sampingnya. Hal itu mungkin disadari Edward, hingga kini menghadapkan tubuh tepat di depannya.
"Ayo, saya gendong."
Zia selalu merasa bodoh tiap kali di dekat Edward. Dia bahkan belum menjawab apa pun ketika tangan Edward sudah mendarat di dua lututnya. Refleks Zia melingkarkan tangan ke leher lelaki itu dengan kaki yang membelit pinggang Edward.
Tersadar kemudian, Zia membelalak. Wajah mereka teramat dekat tapi ekspresi Edward seperti tanpa rasa bersalah. Tubuhnya bergerak seiring dengan kedua kaki Edward yang melangkah.
"Mukamu merah, Zi," gumam Edward melihati wajah Zia yang masih dilingkupi keterkejutan. Bukan hanya Zia sebenarnya yang gugup, Edward juga. Dia berusaha menekan kuat apa-apa yang telah membuat tubuhnya bereaksi hebat. Nyatanya Edward nggak sekuat itu.
"Om," balas Zia setelah berhasil menguasai keterkejutan. Dia membenamkan kepala di bahu Edward yang bidang, menyembunyikan perasaan malu dan canggung luar biasa.
"Kenapa, Baby?" Edward masih terus berjalan. Dia tersenyum tipis saat bisikannya di telinga Zia membuat gadis dalam gendongannya itu segera mengedik.
"Kok tiba-tiba gendong aku?" Zia melantur aja ngomongnya. Dia terlalu gugup. Entah awal tujuannya bertanya apa. "Di depan, lagi. Kayak bocah."
Edward nggak bisa menahan kekehannya. "Kan emang bocah."
"Tuh kan!" Zia kesal dan menjambak pelan rambut Edward, padahal jelas nggak kena. Bagian belakangnya kan dipotong pendek.
"Jambaknya nanti aja," Edward mengerling walau sadar Zia nggak akan lihat ekspresinya. "Katanya mau bikin anak."
"Om yang bilang ya! Aku nggak!" Zia makin merapatkan kepalanya ke bahu Edward. Lama-lama kok nyaman berada di gendongan Edward kayak gini. Dia berasa bocil yang lagi ngambek terus ditenangkan dengan cara diayun-ayun di gendongan.
"Tapi kamu mau?"
"Siapa bilang? Sana bikin anak sama yang lain."
Edward mengernyit. "Kamu kok tau maksud bikin anak? Belajar dari mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...