14. Makan Tuh Damai!

12.8K 1.4K 309
                                    

Haloooo. Belum sempet baca ulang. Maafkan typo-nya yaaa❤️

Happy reading.

🧚🏻🧚🏻

"SINI LO, ED! BERENGSEK!"

Edward diam mendengar teriakan Ogi setelah dia buka pintu apartemen. Langkah temannya begitu cepat membuatnya yakin beberapa detik kemudian pasti kepalan tangan itu mendarat di wajahnya.

"Bang Ogi, jangan!"

Langkah Ogi sama sekali tidak berhenti, meski adiknya berteriak untuk mencegah. Dia udah sampai di depan Edward dengan tatapan seperti siap membunuh. Ditariknya kerah kemeja Edward, mendorong tubuh itu sampai terbentur tembok.

"BANG!!!" Zia sudah sampai di samping Ogi dan menarik kausnya. Hanya itu yang bisa dilakukan karena kalau nekat meraih tangan Ogi, bisa-bisa dia sendiri yang kena bogem.

"Mundur, Zi," geram Ogi. Tangannya sampai gemetar mencengkeram kerah Edward yang sekarang terlihat pasrah dengan apa pun.

"Aku tadi bilang dengerin aku dulu, Bang. Jangan main pukul aja."

"Kenyataannya kalian beneran clubbing." Ogi berusaha sekuat tenaha menekan tiap kata-katanya pada sang adik. Justru terkesan menyeramkan meski tidak dengan suara yang meninggi. "Apa pun alasannya, Abang nggak bisa terima. Jadi biarin Abang kasih pelajaran dulu buat Edward."

"Kalau gitu aku juga salah, nggak cuma Om Ed aja," keluh Zia. Wajahnya terasa panas. Matanya juga. Bukan karena ingin menangis. Tapi efek gatal sejak siang ternyata belum juga berkurang.

"Mundur," kata Ogi lagi. Akibat dari kecewa dan marahnya yang meluap namun terpendam pada Zia, membuat cekalan di kerah Edward makin mengetat.

Yang dilakukan Edward hanya diam. Dia sadar dirinya salah. Biarkan Ogi memukulnya kalau memang itu syarat permohonan maafnya diterima. Edward bahkan merasakan seberapa kuat tenaga Ogi saat ini. Sampai-sampai Edward harus menelengkan kepala ke kanan demi menghindari leher depannya kena cekik.

Serius, ini pertama kalinya Edward tahu Ogi semarah ini. Sedikit lagi Ogi maju, udah pasti kelima jarinya bisa menekan tenggorokan Edward. Membuatnya batuk-batuk karena susah bernapas.

"Bang Ogi, tolong," mohon Zia. Dia akhirnya mundur. Tau kalau Ogi susah dibilangin kalau lagi emosi. Dia yang harus merendah dan pelan-pelan. "Jangan main pukul, bisa kan?"

"Si berengsek ini harus dikasih—"

"Nggak apa-apa, pukul aja," sela Edward. Membuat dua orang yang sebelumnya saling debat kini menatap bersamaan ke arahnya.

Namun Edward kembali memalingkan wajah. Dia berdehem karena gerakan Ogi yang menekan lehernya makin terasa mencekik. Lebih baik langsung dipukul sekarang daripada dicekik pelan tanpa kesengajaan. Edward tau Ogi nggak menyadari ini.

"Ya, emang. Gue akan pukul lo. Mau berapa pukulan? Di mana dulu, hah?" Kali ini nada suara Ogi meninggi. Kedua matanya menyorot penuh kemarahan. Yang sebelumnya terpendam jadi meluap-luap hanya karena Edward mengizinkannya sukarela.

"Terserah lo. Gue emang salah," jawab Edward, memejamkan mata dalam usahanya menelan ludah. Lehernya terasa hampir putus. Buku jari Ogi menekan tepat pada titik yang membuat napas Edward tersendat.

"Nggak kok. Om Edi nggak salah." Zia menggeleng. Dua tangannya menarik tali di lehernya agar hoodie yang melingkupi kepalanya itu makin menutupi wajah dari pandangan. Karena dia tau Edward melirik ke arahnya meski tidak memalingkan kepala. Dia malu, keadaannya begini.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang