WAAAHHH, MAAPIN LAMA. SIBUK NGULI AKUNYA YA AMPUNNN WKWKWK BIASALAH AWAL BULAN AGAK RIWEUH GITUDEH KERJAAN 🙃
Happy reading aja yaaa😚
🧚🏻🧚🏻
"Syukurlah itu tadi cuma miskom aja. Pihak sana khawatir dikira discount fee pengaruh sama kualitas yang kita kasih, Ed."
Edward tersenyum tipis mendengar Albert mengulangi hasil meeting yang hanya berlangsung belasan menit saja.
"Padahal itu bagian dari promosi aja. Kepala divisinya masih baru naik, wajar kalau ada kesalahan waktu deal-deal-an sama klien. Aku malah heran kamu nggak neken dia tadi."
Ya, biasanya emang Edward yang berperan neken. Bukan yang galak banget sebenarnya. Tapi ... pertanyaan yang Edward lontarkan tegas dan runtut. Ada celah dikit aja bisa ketauan. Jadi kadang per divisi harus siapin notebook tiap ditanya kronologi sama Edward. Dia tipe orang yang cuma bisa fokus sama satu kerjaan, nggak boleh terdistraksi. Hal itu yang membuatnya begitu teliti dan cermat.
Pembawaan Edward di kantor juga nggak sebegitu seram. Cuma ngeri saat lagi interogasi. Beda sama Albert yang orangnya lebih longgar, kadang justru memberi waktu ke karyawan kalau masih panik akan kesalahan yang dibuat. Atau terkadang kasih kelonggaran agar kesalahan-kesalahan itu dirunut lewat tulisan apabila si pelaku masih diserang gagap bicara karena rasa bersalah dan takut.
Mereka berdua saling melengkapi. Kalau hanya ada Albert, maka banyak karyawan yang memanfaatkan kelonggaran. Edward-lah yang bertugas mempertegas jika ada dari mereka pelaku kesalahan, yang justru mempermainkan kebijakan. Namun sebaliknya, ketegasan yang berlebih dari Edward, seringkali perlu diatasi oleh Albert dengan sedikit saja percikan air di tengah panas-panasnya keadaan.
Keduanya saling belajar dari satu sama lain demi bisnis keluarga yang sudah ada sejak kakek-kakek mereka masih remaja juga. Edward dan Albert memang turunan kesekian dari Soediro Group.
"Dia udah bilang maaf kayaknya sejuta kali, Al," kekeh Edward. "Makanya nggak perlulah aku cecar pake pertanyaan segala."
Albert mengangguk. Mereka berjalan keluar ruang meeting di kantor. Sudah pukul 8 lebih. Ditengah langkah, Edward teringat sesuatu.
"Al, tadi kamu ke sini izin sama Salsa?"
"Pasti." Albert berdecak, seolah itu pertanyaan sangat tidak masuk akal untuk ditanyakan.
"Suka ngambek nggak dia kalo ditinggal meeting dadakan begini?"
"Cemberut aja." Albert giliran terkekeh. "Wajar, Ed. Sebenernya perempuan tuh kalau udah cinta, ya maunya lengket terus. Tapi kadang gengsi mau bilang, jadinya ngambek."
Edward mengerjap cepat. Benarkah? Dia ingat waktu masih remaja juga kangennya berlebihan banget, berat kalau mau pisah. Tapi seingatnya, dia nggak pernah jadi sasaran ngambek pacarnya cuma karena kerjaan deh. Atau dia yang kelupaan?
"Calon istri kamu ngambek ditinggal meeting ini memangnya?" tanya Albert lagi.
Edward menekan tombol di lift. "Cuma tanya. Lagian aku belum ada calon istri."
"Iya, percaya aja. Keliatan kok dari baju yang kamu pake waktu baru sampai di kantor tadi."
Duh, adiknya emang nyindir kalau gini. "Ya, emang baru nge-date. Malahan lagi nge-date. Tapi bukan calon istri, soalnya rencana dia buat mikirin itu masih jauh katanya."
"Zia pasti."
"Ck." Edward mengusap tengkuknya dengan senewen. Kenapa harus diperjelas gini coba? Adiknya emang niat bikin dia agak grogi. Takut dikatain suka bocah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...