Challenge terakhir, yuk tembusin 500 komen. Besok langsung aku update. Yuhuuu
🧚🏻🧚🏻
Baik Edward maupun Zia belum ada yang bersuara. Lembut Edward menatap gadis yang masih sesenggukan di hadapannya. Dia diam meski separuh hatinya terasa remuk. Untuk kali yang tak terhitung dalam hidup, dia melihat Zia menangis. Hanya bersama Zia-lah dia merasa menjadi laki-laki yang gagal.
Ibu jari Edward menyentuh jejak air mata di pipi Zia, tidak membiarkan buliran itu menetes sampai pangkuan. Dia ingin menghapus tangis Zia meski tidak tahu harus dengan cara apa selain ini.
Edward merendahkan tubuh, menatap keseluruhan wajah Zia yang masih terus menunduk. "Saya nggak berniat memberati kamu dengan apa yang saya bilang tadi, Zi," bisiknya. Matanya terasa perih, tapi dia sudah mampu mengendalikan diri agar tidak meneteskan air mata lagi.
Kepala Zia menggeleng ringan, seperti menolak apa yang baru saja Edward bilang. Memberati? Memberati yang bagaimana? Zia justru lega sekaligus haru. Edward sudah dia paksa pergi dari hidupnya, dengan kalimatnya yang kasar, menyakiti, nggak punya hati, tapi lelaki itu masih sebegini besar menunjukkan rasa cinta.
"Kamu nggak salah," bisik Edward, menjawab perkataan Zia beberapa saat lalu. Permintaan maaf Zia baginya tidak perlu. Zia nggak salah. Edward yang salah di sini. "Dari awal, semua salah saya. Banyak yang harusnya saya selesaikan sebelum jalin hubungan sama kamu."
"Aku ... udah nggak peduli sama itu." Zia berusaha bicara tentang ini. Kesempatan nggak datang dua kali. Dia ingin Edward tau bahwa perasaan Zia juga masih sama.
Sekarang giliran Edward yang memberi gelengan pelan. "Kamu harus peduli sama semua keburukan pasangan kamu, siapa pun itu. You deserve someone who respects you, supports you, and brings out the best in you."
Zia menatap Edward dengan tangan yang gemetar. Bibirnya tergigit ke dalam demi menahan buncahan tangis yang berusaha tidak dia keluarkan. Usapan lembut tangan Edward yang merangkum wajahnya membuat hati Zia makin sakit.
"Kak Ed ... nggak maafin aku?" cicitnya. Kenapa Edward seolah mengatakan kalau mereka nggak bisa bersama lagi?
"Nggak ada yang perlu saya maafin karena kamu nggak salah. Kalaupun ada hal yang kamu rasa salah, perbaiki untuk diri kamu sendiri. Karena kamu nggak perlu merasa bersalah sama saya."
"Kita—"
"Sssttt." Edward menghentikan kalimat Zia. "Saya cinta sama kamu. Nggak berkurang sedikit pun. Tapi ...."
Zia menunggu dengan air mata yang mulai mengalir lagi. Isaknya terdengar, sesenggukannya terbata. Dia takut.
"Malam ini kita selesaikan baik-baik."
Runtuhlah pertahanan Zia. Tangannya kembali menutup wajah untuk meluapkan tangis. Edward nggak mau balik lagi? Zia memang terlalu jahat mengusir Edward, menghakimi masa lalu yang tidak ada hubungan dengannya, terlalu berlebihan bersikap tiap diingatkan tentang Gwen, terlalu sensitif dan merasa sakit sendirian. Padahal, mungkin, Edward juga sedang bertarung dengan dirinya sendiri tiap menghadapi masa lalu. Ketakutan Edward yang baru Zia ketahui tentang penerbangan membuat semua terang bagi Zia.
Dan memang ... pantas Zia nggak diterima kembali. Zia terlalu egois. Nggak bisa lihat dari sudut pandang Edward secara terbuka. Dia sibuk dengan sakit yang dirasa hatinya.
"Aku juga masih ... sayang ... masih cinta." Zia terbatuk setelah mengungkapkan itu. Cara terakhir untuk membuat Edward tau bahwa Zia masih menyimpan rasa yang sama.
"Saya nggak maksa kamu jawab itu." Edward mengulurkan tangan untuk kembali membawa Zia dalam pelukan. Tubuh hangat di pelukannya ini, yang sedang gemetar karena pertemuan mereka membuat Edward nggak tega. Tapi dia akan lebih terluka kalau membiarkan Zia menyesal dengan keputusan yang mendadak. Jadi Edward menjeda lebih lama. "Masa depan kamu masih panjang, Zi. Kamu cantik, pintar, talented. Saya bangga waktu tau kamu juara fashion design. You're really shining on your own. Jadi ... pikirkan ini baik-baik. Seminggu? Dua minggu? Kapan pun kamu siap kembali ke saya, just come."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...