Izin dulu mo nyakitin Zia🙏🏻
🧚🏻🧚🏻
"Pak! Pak Edward!"
Kalau saja Edward nggak dengar suara itu dalam lima detik ke depan, udah pasti kakinya nggak sanggup berdiri. Sekarang aja dia berjongkok mengenaskan di salah satu sisi terminal kedatangan bandara. Niatnya ingin lanjut ke area penjemputan di gedung parkir. Tapi pandangannya tiba-tiba mengabur. Mual yang dirasakan ini tidak separah saat dia menjejakkan kaki sesampainya di Singapura kemarin. Tapi pening kepalanya lebih daripada yang selama ini pernah dia rasa.
"Pak Edward, ini minum dulu."
Itu suara sopir kantor. Sekarang ikut berjongkok di depan Edward yang sempat nggak sanggup berdiri. Dengan tangan sedikit kaku, Edward menerima sebotol air mineral. Dia tidak dehidrasi sebenarnya. Tapi beberapa tegukan sedikit membuatnya lebih baik. Setidaknya kedua matanya bisa melihat lebih jelas.
Edward memejamkan mata dan berusaha menguatkan diri. Entah ini efek penerbangan yang masih sama seperti kemarin, atau memang karena lebih dari seharian dia nggak tidur. Edward memang melewatkan tidur sejak sebelum menyusul Zia, di pesawat, saat bersama Zia, sampai siang hari saat penerbangan pulang. Sampai detik ini, sesampainya di Indonesia bahkan dia tidak ingat kapan terlelap.
"Nanti tolong bawakan tas saya ya, Pak," pinta Edward. Dia nggak yakin masih bisa menambah berat bawaan, sedangkan bawa diri aja udah sempoyongan.
"Baik, Pak Edward. Mari saya bantu jalan juga."
Edward meringis saat usahanya berdiri kayaknya dilihat si sopir, makanya nawarin bantu. Dia nggak menolak dan berpegang pada bahu pria itu. Setelah berhasil berdiri, Edward segera melepas cengkeramannya karena takut pria yang tubuhnya lebih kecil dari Edward itu keberatan.
Pelan-pelan Edward melangkah meski kakinya lemas. Perutnya terasa kembung dan mual. Dia pernah merasakan separah ini saat dulu—saat tidak ada makanan yang bisa ditelan selama berhari-hari. Menyiksa dan menyakitkan. Dia sangat berharap penerbangannya tidak memunculkan reaksi traumatis yang separah dulu sampai mengganggu kinerja tubuhnya menelan makanan.
Karena untuk melewatinya saja Edward butuh sakit berkali lipat rasanya. Semoga ini hanya pusing akibat kurang istirahat dan jetlag saja.
"Silakan, Pak Edward."
Edward masuk ke mobil dan membiarkan sopir menutup pintu. Tubuhnya merebah dengan luar biasa lelah. Memejamkan mata tidak membuatnya lebih baik sekarang. Justru pekat hitam yang dilihat bisa memicu kesadaran dirinya hilang. Ini nggak boleh.
"Apa Pak Edward butuh buah? Tadi Pak Erwin dan Bu Valencia bawakan semangka, alpukat, katanya takut kalau Pak Edward jetlag."
Edward meneguk salivanya susah payah. Sepertinya papa dan mamanya memang mengkhawatirkan dengan cukup berlebihan. Padahal sesampai di Singapura juga Edward hanya muntah ringan. Tidak ada tanda-tanda yang harus dikhawatirkan seperti dulu. Tapi Edward nggak menyalahkan.
Kalau teringat tangisan mamanya saat Edward seperti mayat hidup dulu memang dia jadi nggak tega. "Boleh, Pak," jawabnya sembari menerima sekotak buah dari tangan sopir.
Edward meletakkan kotak yang sudah dibantu buka oleh pria yang sekarang mulai fokus menyetir. Lalu tangannya meraih sendok dan menancapkan pada potongan semangka. Dibawanya potongan itu ke mulut dan dia mengunyah dengan santai.
Semua terasa normal saat Edward menelan tiga potong semangka. Tapi saat sampai di perut, rasa mual tiba-tiba menggulungnya, membuatnya hampir memuntahkan kalau saja tidak bisa menahan agar tetap ada di pencernaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Genç Kurgu"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...