21. Take It or Leave It

13.8K 1.4K 355
                                    

Yang nunggu lanjutan hercules ngamuk, update-nya nanti tengah malam menjelang pagi ya fast accessnya di KK. Nanggung banget belum selesai part 25-nya kurang dikiittt wkwkwk.

Oke happy reading :)

🧚🏻🧚🏻

"For God's sake, Al. Aku nggak pernah pacaran sama yang masih virgin. Paham?"

Respons Albert pertama kali? Jelas kaget. Lelaki itu refleks mundur selangkah dan mengangkat dua tangan. Tanda kalau kalimat paten Edward adalah jawaban yang memang tidak bisa dibantah.

"Oh, oke," cicit Albert, masih bingung menanggapi dengan hal apa.

Sedangkan Edward makin berantakan hatinya. Dia mengacak rambutnya dengan perasaan gamang. Memang hal itulah yang mengganggu pikirannya belakangan ini. Biasanya dia bagi cerita ke Ogi, tapi kalau subjeknya Zia jadi serba bingung. Cari mati namanya kalau bilang ke Ogi. Meskipun kayaknya Ogi tau tabiat jelek Edward yang satu ini.

"Sorry, Ed," susul Albert setelah berhasil menguasai kekagetannya.

Edward mengangguk-angguk. Dia memang jarang membagi cerita percintaan dengan sang adik. Karena selepas adiknya lulus SMA, langsung lanjut kuliah di Amsterdam sampai delapan tahun lamanya. Alhasil mereka jarang ketemu. Ogi lah yang jadi tempat curhat Edward selama itu. Tapi karena sekarang beda konteks, Edward butuh cerita ke Albert.

"Aku masih berpikiran kalo ini cuma perasaan khawatir." Edward melanjutkan. Kebimbangan yang dirasakan emang benar adanya. Dibilang suka, tapi kayaknya nggak seintens itu perasaannya. 'Khawatir' lebih mendekati benar baginya.

"Khawatir karena ...?" Albert berusaha membantu kakaknya menemukan titik temu.

"Banyak hal." Edward mengatur napasnya yang berat. "Waktu ketemu Zia lagi, keliatan banget dia lugu, innocent, sincere, cheerful, apa adanya. Khas anak remaja, Al. Aku jadi inget waktu seumuran dia dulu. Masih bebas, nggak ada beban, mau suka sama siapa aja nggak ada yang ngelarang. Aku cuma takut, khawatir, nanti ada yang renggut semua itu dari dia."

"Ed, sorry." Albert meminta maaf untuk hal yang akan dia sanggah. Agar Edward tidak tersinggung atas ucapannya setelah ini. "Kita tau hidup nggak selalu mulus. Pasti ada saatnya Zia sedih di tengah proses pendewasaan diri."

"I know." Edward mengangguk. "Tentang studinya, kariernya, aku nggak begitu khawatir. Dia pasti bisa laluin jatuh bangunnya. Justru yang aku khawatirin ...." Dia menjeda cukup lama. Susah mengatakan ini, karena semua mengingatkan pada dirinya sendiri di masa lalu.

Edward si remaja pendiam, pemalu, nggak punya banyak teman, tiba-tiba gemetar hanya karena lihat seorang perempuan di tengah penerbangannya ke Amsterdam. Jatuh cinta pertama di masa remaja yang sangat menggebu, ingin dilihat semua orang, butuh divalidasi bahwa dia punya pasangan yang sangat perfect. Sempurna dalam banyak hal. Dia memamerkannya dengan bangga di mana-mana. Di dunia nyata maupun sosial media.

Jadi saat cintanya bersambut, Edward menghabiskan dunianya hanya untuk Gwen. Melupakan studi, keluarga, teman, demi Gwen. Bahkan mengekori ke mana pun pacarnya terjadwal terbang. Selalu memesan seat untuk bisa 24/7 tanpa berpisah sehari aja.

Hidup Edward berbanding terbalik. Dia mulai mengenal rokok, alkohol, bahkan having sex pertama, kedua, dan entah berapa banyak lagi setelah itu. Edward sadar terlalu jauh keluar jalur saat hampir menyentuh obat-obatan terlarang. Namun dia bersyukur karena sedikit saja sisi calm-nya yang dulu, tiba-tiba menyeruak di tengah hingar bingar dunia gelapnya.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang