Komennya minimal sama kek kemaren gak si☺️🤛🏼
Happy reading 🔥
🧚🏻🧚🏻
"Minum dulu, Ed."
Helaan napas Edward terdengar keras. Dia bahkan menggeram penuh kemarahan saat gagal mengendalikan pikiran buruknya. Selimut yang sedari tadi menutup tubuh—hampir dua jam setelah dia sadar dari pusaran gelap mengerikan—tersingkap begitu saja saat Edward beranjak.
"Lo mau ke mana, woy?!"
Kepala Edward seperti dipukul godam. Pening membuatnya mengerang kuat. Sialan, dia bahkan lupa bagaimana rasanya bangun dari pingsan.
"Sok sokan kabur, buat berdiri aja jatuh lo. Sok kuat. Lemah!" desis Ogi setelah berhasil menahan bahu Edward biar nggak terperosok ke lantai. "Duduk lo!" suruhnya.
Edward meraup wajah dengan gelisah. Napasnya masih memburu hebat. Tatapannya belum terfokus keseluruhan. Di otak hanya ada pertanyaan tentang Zia. Kenapa gadis itu belum mengabari? Kenapa nomor Zia nggak aktif? Kenapa nggak bisa dihubungi? Kenapa nggak ada kabar apa pun?
"Zia udah sampai."
"Tau dari mana?" todong Edward. Tatapnya menajam tertuju pada Ogi. Posisi duduknya di sofa hampir terasa membosankan. Dia sudah sadar dari pingsan sialan itu dan mendapati Zia nggak ada di sampingnya. Dia berharap penerbangan Zia cuma mimpi. Tapi nyatanya ... bukan. Gadis itu benar-benar sudah sampai di negara seberang—seharusnya.
"Ck." Ogi yang duduk di sofa depan Edward, ngerasa kesal juga. "Gue hubungin temennya, katanya—"
"Bisa aja temennya bohong."
Ogi berusaha menyabarkan diri. Bukan apa-apa. Lihat Edward begini seperti melihat sosok Edward di masa terpuruk dulu. Panik, gelisah, nggak bisa berpikir jernih. Ditambah muka Edward pucat pasi. Siapa yang tidak tahu tanda-tanda keresahan separah itu? Semua orang jelas menyadari kondisi Edward dalam sekali lihat.
"Zia nggak hubungin gue," desis Edward, masih dengan suaranya yang tertekan dan raut penuh kepanikan. Tangannya bahkan gemetar saat menunjukkan ke Ogi bahwa nama Zia belum juga muncul di layar. Padahal Zia janji begitu sampai akan langsung mengabari. "Apa yang lo sembunyiin dari gue, Gi? Ada kabar apa di media?"
"Nggak ada, Ed. Everything is fine."
Edward memejamkan mata dengan gigi yang bergemeletuk. Ingatan tentang sebuah stasiun televisi internasional mengabarkan insiden loss of aircraft control yang membuat pesawat terjatuh, terus mengaung di dalam kepala.
"Dan temennya nggak bohong. Gue sempet vidcall tadi. Dan Zia—"
"Lo nggak bilang ke gue dari tadi?!" geram Edward. Tatapannya begitu menjurus, meminta penjelasan akan keputusan Ogi yang nggak memberitahunya tentang ini.
"Lo baru waras, Ed. Berjam-jam tadi lo diem kayak orang kesurupan, lo tau?" decak Ogi. Dia juga mau bilang, bahkan mau nunjukin muka Zia waktu video call. Tapi apalah daya, Edward diam dengan pandangan kosong seolah belum bisa mencerna apa pun. Ogi pikir, percuma ngasih tau. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
"Lo nggak tau gue chat Zia sampe ratusan kayak gini dan nggak ada respons? Gila lo nggak bilang kalo lo video call sama dia. Berengsek!"
"Ed!" Ogi mengangkat dua tangan ke atas, tanda agar Edward meredakan marahnya. Kepanikan yang terpancar begitu mengerikan, membawa langkah-langkah gontai Edward mendekat padanya.
"Mana nomor temennya? Gue harus mastiin Zia baik-baik aja," tatapan Edward nggak tentu arah, meski pertanyaan tadi tertuju ke Ogi.
"Udah nggak aktif lagi. Zia juga. But she is okay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...