12. Sialan!

14.2K 1.3K 280
                                    

HALO. SELAMAT MEMBACA, WARGA WATTPAD🥰

🧚🏻🧚🏻

"Meeting selanjutnya jam 1, Pak."

Edward mengangguk meski otaknya mencoba berpikir keras. Apa cukup waktu hanya satu jam untuk ke apartemen dan lihat kondisi Zia?

Pagi tadi keadaan cewek itu masih tidur lelap setelah semalaman gelisah dalam tidurnya. Yang terparah adalah racauan salah sasaran alias pernyataan cinta berulang kali. Mungkin Zia emang lagi mengalami masa kasmaran di sekolah, makanya sampai kebawa saat mabuk. Cinta yang terpendam, gitu istilahnya bisa jadi.

Edward tau efek alkohol bikin tidur Zia sama sekali tidak nyenyak. Apalagi selain racauan itu, Zia juga mengigau dan merintih kecil seolah sangat tidak nyaman dengan reaksi tubuhnya sendiri. Edward yang lihat merasa kasihan. Alhasil, dia juga kurang tidur semalam.

"Kamu boleh balik ke meja kamu," kata Edward sembari mempersilakan sekretarisnya berlalu.

Edward meraih ponsel kerjanya di laci meja. Masih belum ada balasan dari Zia. Padahal sejak menginjakkan kaki di kantor pagi tadi, dia langsung hubungi Zia biar segera menyantap makanan yang sudah disiapkan begitu bangun tidur.

Terus menerus otaknya mencari solusi. Harusnya tadi sebelum berangkat ke kantor, dia kirim salah satu pekerja di rumahnya buat jagain Zia di apartemen. Tapi baru kepikiran, karena dikejar jadwal meeting yang berurutan tiada jeda hari ini.

Edward tersentak dari lamunan saat merasakan getar ponsel di saku jas. Adiknya menelepon. "Apa, Al?"

"Kamu jadi balik? Udah break."

Itu dia yang Edward pikirkan. Kalau dia terlambat meeting lagi, apa jadinya pendapat sang papa nanti. "Aku ada meeting jam 1, Al," keluhnya. Bukan mengeluh soal kerjaan. Tapi bingung apa yang harus dilakukan.

"Tapi Zia udah bisa dikabarin kan?"

"Belum." Kembali Edward raih satu ponsel kerjanya. Masih belum dibaca juga. Takutnya Zia kenapa-kenapa. Dia yang harus bertanggung jawab. Ck. Kenapa harus terjebak dalam runtutan peristiwa sebab akibat begini sama bocah sih?

"Atau aku minta istriku biar turun ngecek keadaannya?"

Mendadak Edward membeku. Itu ide bagus sebenarnya. Tapi dia merasa kalau ini kesalahannya sendiri. Tidak seharusnya banyak orang yang direpotkan. Edward sudah lebih dari dewasa untuk bisa mengambil keputusan atas apa yang diperbuat.

Contoh dari keputusan yang dia ambil dengan saksama semalam adalah ... membawa Zia pulang bukan ke unit apartemen Ogi. Tapi malah berbelok ke apartemen punya Albert. Kebetulan ada unit kosong di lantai bawah. Edward cukup waras karena tau Ogi bisa saja mengecek isi apartemennya sendiri lewat CCTV. Itu akan berakibat mabuknya Zia ketahuan. Jadi Edward cari aman.

"Kayaknya aku yang balik aja, Al," kata Edward. Sudah memutuskan tekadnya. Semakin lama diulur, waktunya semakin mepet dengan meeting. "Takutnya Salsa kerepotan. Lagi hamil muda, ada bayi juga. Malah ditambah-tambahin bayi mabuk berwujud Zia."

Di seberang sana, Albert tertawa. "Kamu kan tau jam segini ada babysitter yang bantu istriku. Tapi ... nggak apa-apa kalau kamu mau pulang. Hati-hati, nggak perlu ngebut."

Edward cuma berdehem. Kadang dia heran kenapa adiknya seluwes itu buat bilang hati-hati ke Edward apalagi beserta pesan-pesan berisi bentuk perhatian. Kalau Edward sih nggak pernah. Bukan berarti nggak sayang ke adiknya. Tapi ngerasa aneh aja kalau dia yang nunjukin. Biar Albert aja, Edward sih gengsian orangnya.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang