62. Menanggung Dosa

10.3K 1K 438
                                    

Dosa apa yang ditanggung hayo?

🧚🏻🧚🏻

"Zia bikin story apa hari ini, Gi?"

"Pertanyaan itu lagi."

Edward terkekeh. Dia berjalan melewati pintu dan berhenti di meja sekretarisnya dengan telepon di satu telinga dan tumpukan berkas di tangan yang lain. Saat tahu Edward keluar dari ruangan, sekretarisnya segera berdiri dan menunduk untuk memberi hormat.

"Wait, gue cek dulu. Adek gue lagi rajin update story dua hari ini. Tapi isinya makanan doang. Jangan harap lo bisa liat mukanya."

Edward memberi isyarat ke wanita di depannya untuk membuka schedule. "Denger Zia update story aja gue udah seneng." Dia tidak masalah meski ada orang lain yang mendengar percakapan ini.

"Di WA adanya, Ed. Di ig belum aktif juga dia. Mana foto profil kosong, lagi. Mendadak introvert amat adek gue."

"Kirim aja. Pokoknya kalo ada kabar tentang dia, kirim ke gue langsung. Gue tunggu."

Edward mematikan sambungan telepon. Dia terfokus ke sebuah tablet di depannya yang memperlihatkan jadwal meeting sehabis break nanti. "Materi meeting-nya udah disiapin?"

"Udah, Pak. Sebentar saya tunjukkan."

Tidak butuh waktu lama, Edward melihat grafik proyek terbaru, spesifikasi teknis, dan konsep desain terpampang jelas di layar tablet. Dia mengangguk-angguk. "Good job. Jangan lupa kirim reminder ke tim pengembangan proyek buat meeting nanti. Oh iya, satu lagi. Udah kamu kosongin jadwal saya selama tiga hari?"

"Baru bisa me-lobby dua meeting, Pak. Tapi saya usahakan bisa. Pak Edward jadi ke Aussie minggu depan?"

Edward tersenyum lebar. Membayangkan hal itu membuatnya senang. "Jadi. Nanti kalau yang sehari nggak bisa re-schedule nggak perlu dipaksain. Saya bisa minta tolong adik saya biar gantiin. Kamu juga udah kerja sangat baik. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, Pak Edward. Semoga urusan di sana lancar."

"Makasih doanya. Kamu boleh break, terus lunch dulu. Di pantry udah banyak makanan dateng. Tadi saya pesankan khusus untuk divisi yang nanti meeting. Jadi ajak mereka juga."

Wanita di depannya mengangguk dengan semangat. Akhir-akhir ini Edward memang lebih sering menyediakan makanan dari luar kantor padahal proyek belum berjalan apalagi nyentuh well-executed, masih jauh. Entah ada apa dengan atasannya beberapa minggu terakhir.

Tapi yang didengar dari gosip yang beredar, Edward dan kekasihnya berpisah. Kalau lihat dari pembawaan Edward yang tetap santai mungkin itu memang hanya gosip. Atau kalau beneran berpisah mungkin aja LDR. Karena banyak orang lama yang paham jika Edward patah hati nggak mungkin sesantai ini. Mereka jadi saksi bagaimana kabur-kaburannya Edward dengan keadaan yang mengkhawatirkan setelah patah hati usai ditinggal Gwen meninggal dunia.

Tapi saat tau bahwa Edward mau ke Australia, udah pasti nyusulin pacarnya. Ini tanda kalau gosip nggak selamanya jadi fakta.

"Terima kasih, Pak Edward."

Edward mengangguk dan tersenyum, lalu berbalik lagi ke dalam ruangannya yang hening. Dia mengangkat ponsel di tangan kanan dan mendapati Ogi mengiriminya pesan.

Sebuah foto beberapa makanan mediteranian di meja. Tidak ada imbuhan caption apa pun. Tanpa wajah Zia.

Reaksinya selalu sama. Senyumnya luntur, napas Edward mendadak tersendat tiap kali mengetahui unggahan Zia meski hanya lewat makanan yang saat ini dinikmati gadis itu. Ini sudah hampir sebulan, namun rasa rindu makin memuncak tiap detik.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang