Halooooo, long weekend ye ciye🌝
🧚🏻🧚🏻
"Everything's okay, Zi?"
Zia masih dilanda keterkejutan meski mereka sudah bermenit-menit menghabiskan waktu dengan berfoto. Tatapan Zia mungkin saja kosong di hasil jepretan berkali-kali tadi. Yang dia ingat hanya senyum tipis saat Edward memintanya. Kalau tidak, entahlah, bagaimana hasil foto mereka.
Merasa bahwa Zia masih belum mau bercerita, Edward kembali mendekatkan tubuh. Dia berusaha sebisa mungkin mengerti. Menunggu Zia mau berbagi keresahan adalah hal yang tepat. Dia cukup mengenal bahwa Zia bukan orang yang selalu siap menanyakan kegelisahannya di saat yang sama.
"Ada kabar buruk yang kamu denger? Dari keluarga atau apa?"
Zia menoleh dengar suara yang penuh empati. Dia mendapati wajah Edward yang tenang. Bibir itu membentuk senyum hangat menandakan kepedulian. Tiap kata yang diucapkan Edward membelai telinganya dengan lembut. Gerak tubuh Edward terkendali saat pelan-pelan mendekat dan membelai halus pipinya dengan ibu jari.
"My ears are yours, always." Tatapan Edward penuh pemahaman, seakan lebih memahami perasaan Zia ketimbang kata-kata.
Dan itu sanggup menyentuh hati Zia. Mereka pernah sangat jauh dikungkung kesalahpahaman. Saat ini hubungannya telah sampai di tahap baik-baik saja, saling mengerti, dan belajar memahami. Akan sangat egois kalau Zia menyimpan ini sendiri.
Lagi pula ini tentang Gyna. Meski Zia susah mengakui, tapi memang nyatanya apa pun tentang Gyna yang mengganggunya udah pasti berhubungan dengan Edward.
"Om ...."
"Iya?" Edward merendahkan kepala, siap mendengarkan. Dia menepuk lembut tangan Zia di pangkuan, yang sedang saling mengait satu sama lain. "Mau cerita?"
Zia kesusahan menyusun kata-kata, tapi dia berusaha. Sesekali pandangannya berkeliling untuk memastikan apakah Gyna di sana atau tidak.
"Ini ...." Zia memberanikan diri membuka ponsel dengan tangannya yang sedikit gemetar. Dia tidak tenang, tapi harus dihadapi. Dia takut lihat ekspresi Edward jika nanti membaca pesan tentang Gwen.
Persetan apakah kabar itu benar atau tidak. Tapi jujur, Zia tidak percaya. Yang dia takutkan adalah ... jika Edward membaca ini, apa lelaki itu akan dengan kondisi yang sama seperti saat melihat foto Gwen di dinding-dinding rumah? Membeku, susah diraih, mengenang dalam dunia sendiri.
Edward mungkin sudah lupa pada Gwen saking lamanya ditinggal pergi, juga karena dalam hati Edward tertanam bahwa Gwen adalah ketidakmungkinan. Tapi jika ada sedikit saja kemungkinan tentang Gwen, apa Edward akan tetap mempertahankan Zia?
"Kamu dapat chat?" Edward mulai menebak. "Kabar buruk ya?"
Zia mengangguk, tapi lalu menggeleng. Dia bingung apa ini kabar buruk atau kabar baik untuk hubungan mereka. Lebih tepatnya, untuk Edward. "Aku nggak tau, Om," bisiknya. "Buat aku kabar ... buruk. Tapi buat Om atau yang lain, mungkin ini kabar ... baik." Dia mengakhiri dengan senyum tipis.
"Kok bisa gitu?" Edward memberi senyum pengertian. Mungkin Zia lagi kalut makanya bingung dengan apa yang diucapkan.
"Soalnya aku jahat." Zia mengalihkan pandangan ke samping. Ke mana pun selain wajah Edward. Dia emang jahat. Di mana-mana kabar keselamatan seseorang adalah hal yang baik, tapi entahlah kenapa Zia menganggap ini kabar buruk. Sungguh hatinya nggak bisa bilang bahwa ini baik.
"Kamu bukan orang jahat. Kalau kabar itu bagi kamu kabar buruk dan bagi orang lain kabar baik, artinya orang lain itu yang jahat, Zi."
"Om ...." Zia agak jengah dengan ini. Dia ingin pulang dan menenangkan diri tapi akan jadi boomerang. Hubungan mereka taruhannya. Edward pasti nggak suka dia kabur-kaburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lop Yu, Om!
Teen Fiction"Om? Kamu panggil saya 'Om'?" Edward Neil Soediro selalu pilih pacar yang lebih dewasa biar nggak perlu susah-susah ngabarin tiap detik. Selain dewasa secara pemikiran, juga HARUS yang umurnya lebih di atasnya. Tapi di 30 tahun Edward hidup, dia jus...