***
"Hihihihi.. Owh, sini-sini sayang.."
Pria tampan dengan ber'kemeja lengan pendek bewarna cokelat gelap itu masih terkekeh disana. Dia masih geli dengan ulah tunangannya yang tadinya ingin menjahilinya, justru malah kesal sendiri karena dicuekin. Masih terkekeh, Al pun membuka kedua tangannya mengisyaratkan agar Yuki masuk kedalam dekapannya. Namun sepertinya wanita itu masih enggan melangkah mendekatinya. Pasti ngambek. Pikir Al.
"Hehehe.. Sini dong, sayang. Maaf deh maaf.. Janji enggak dicuekin lagi." Gumam Al memohon. Wanita itu menghentakkan kakinya sekali lagi kelantai dan merengek manja pada Al.
"Jangan ketawa..."
"Ohh iya-iya enggak ketawa. Sini sayang.." Al kembali membujuknya dengan sabar. Sabar? Ah ya ampun, bahkan Al tidak pernah sabar dalam hal apapun. "Ohh, sayangku. Tukang ngambek, manja, maunya diperhatiin terus." Bisik Al lembut, saat Yuki sudah berada di pelukannya.
Wanita itu semakin bermanja-manja ria disana. Dia duduk dipangkuan Al seraya melingkarkan kedua lengannya di bahu tunangan tampannya itu. Saat tengah asyik bermanjaan, ponsel milik Al yang tergelatak diatas meja berdering menandakan ada sebuah panggilan.
"Hallo!"
"Tuan besar, anu Tuan, Tuan muda Iqbal.."
"Kenapa bibik?!! Kenapa Iqbal?!!!" Al mulai panik, bahkan kepanikan menular pada Yuki. Wanita itu melepaskan rangkulan tangannya dan memandang Al dengan cemas.
"Tuan muda pingsan, Tuan besar. Badannya panas sekali."
Al dengan buru-buru menggandeng Yuki untuk pulang ke rumah melihat keadaan putranya.
...
Sesampainya dirumah, Al menaiki tangga dengan terburu-buru. Wajahnya begitu cemas. Dia membuka keras pintu kamar Iqbal dan berlari mendekati ranjang. Putranya terbaring dengan wajah pucat dan sekujur tubuhnya menggigil kedinginan. Ketika Al melihat ke atas AC dikamar masih dalam keadaan menyala. Salah satu pelayan rumahnya yang kebetulan berada dikamar itu, terkena dampratan Al.
"Apa-apaan ini?!! Matiin AC nya, apa enggak lihat anakku sudah menggigil?!! Apasih mau kalian, hah?!! Dirumah, tapi enggak ada yang becus!!!"
Yuki mengisyaratkan pelayan itu untuk segera keluar, agar tidak membuat Al semakin emosi. Wanita itu meraih remote AC yang tergeletak diatas nakas, lalu mematikannya.
"Iqbal sayang.. Bangun nak, ini Papah sayang." Dia menepuk-nepuk pelan pipi Iqbal, berharap putranya itu segera membuka matanya. Namun Iqbal tak sedikit pun membuka matanya.
"Sayang,, badannya panas banget. Kita bawa ke dokter aja." Yuki berkata setelah menyentuh dahi Iqbal dengan punggung tangan kanannya.
"Oh my god! Kenapa bisa begini?!"
...
Iqbal sudah dibawa ke rumah sakit. Rumah sakit yang tak lain dan tak bukan adalah milik Al sendiri. Beberapa saat yang lalu, Al dan Yuki membawa Iqbal ke rumah sakit karena kondisinya tidak memungkinkan untuk dirawat di rumah. Disana, anak asuh Al itu terbaring lemah dengan selang oksigen yang berada dihidungnya, ditambah lagi dengan selang infus yang menancap dilengannya. Membuat Al memandangnya tidak tega.
Mendengar Iqbal dilarikan ke rumah sakit, Mamah Ellen dan Papah Adrian pun langsung datang kesana. Bahkan Stefan yang berada di Kalimantan pun langsung datang ke Jakarta untuk melihat kondisi keponakannya. Walau Iqbal cuma anak asuh, seluruh keluarga Al sangat menyayanginya.
"Pa--pah.." Suara Iqbal akhirnya terdengar setelah sekian lama dia tak sadarkan diri. Dan orang yang dipanggilnya pertama kali adalah Papahnya, Al Kohler.
Al yang sedang berbicara serius dengan Mamah Ellen, tidak mendengar suara Iqbal yang sedang memanggilnya. Hingga pada akhirnya Stefan pun memanggil Al dengan suara sedikit keras.
"Kak Al." Al menoleh mendengar panggilan Stefan. "Iqbal manggilin lo nih."
Pria itu menoleh lagi ke arah ranjang, lalu menghampiri putranya. "Ya sayang, ini Papah nak." Ucapnya sambil mengelus-elus kepala Iqbal.
"Papah jangan tinggalin Iqbal, Pah. Iqbal takut jauh dari Papah.." Sejak Iqbal mendengar perkataan Pevita yang mengatakan bahwa suatu hari nanti dia akan dicampakkan oleh Al, dia menjadi ketakutan. Kata-kata Pevita itu selalu berlalu lalang di kepala Iqbal hingga membuatnya drop dan dirawat dirumah sakit saat ini. Iqbal takut Al meninggalkannya. Takut bukan berarti tidak mendapat harta dari Al dan dia kembali hidup dijalanan, tetapi takut karena Iqbal sangat menyayangi Al. Iqbal tidak mau jauh-jauh dari Papahnya.
"Papah enggak akan kemana-mana, sayang. Iqbal pindah aja ke Jakarta, kuliah disini, tinggal sama Papah biar deket terus sama Papah, ok? Gitu mau? Biar Papah urus nanti semuanya. Ok, mau gitu sayang? Tinggal sama Papah aja disini ya nak ya.?"
Dari sofa, Mamah Ellen dan Papah Adrian tersenyum melihat Iqbal yang sangat manja dengan Al.
...
Dokter sudah memeriksa Iqbal. Keadaannya cukup membaik, tetapi panas tubuh Iqbal nampaknya belum menurun. Putra asuh Al itu sedang makan, disuapin oleh Stefan.
"Ahh, enggak kece lo. Katanya mau ngajakin Om ke Jepang, eh sekarang malah terbaring dirumah sakit." Ujar Stefan sambil menyuapkan bubur ayam pada Iqbal. Dia duduk disisi kiri Iqbal, dan disisi kanan ada Al yang tengah berbaring. Iqbal yang tak mau jauh-jauh dari Papahnya, membuat Al berbaring disana.
"Sabar dong, Om. Entar deh kalo sembuh kita ke Jepang ya. Tapi traktirin ya, dari mulai tiket pesawat, penginapan, dan lain-lain Om Efan yang bayar." Al terkekeh mendengar ucapan putranya.
"Lo kenapa ketawa, Kak? Seneng banget yah lo kalau anak lo morotin duit gue."
Lagi-lagi Al terkekeh. "Enggak apa-apa dong. Kan jarang-jarang juga anak gue morotin lo."
"Iya jarang. Tapi sedetik minta, langsung yang mahal. Kayak arloji bulan kemaren, asik anak lo liat-liat toko online, eh giliran dia pengen langsung nelfon gue terus merengek kayak anak kecil. Lo tau kak, dia ngirimin foto arloji itu lewat BBM. Gue kirain harganya berapa? Eh tau nya tiga puluh juta, resek kan anak lo?!" Stefan ngedumel tapi sambil menyuapi Iqbal. Dia sedikit geli jika mengingat ulah Iqbal bulan kemarin saat merengek minta arloji mahal padanya.
"Hehehe." Al terkekeh lagi. "Jadi lo beliin?" Tanyanya.
"Ya gue beliin, itu yang dipake dia. Bangun restoran bisa lo, giliran pengen jam minta ke gue." Ledek Stefan sambil bercanda. Membuat Iqbal pura-pura tersinggung dan mengaduh pada Omah nya.
"Omah.. Liat tuh Om Efan, dia hitung-hitungan sama Iqbal."
"Efaaannn. Kamu jangan hitung-hitungan sama cucu Mamah.." Tegur Mamah Ellen. Membuat Stefan kesal, namun dia terkekeh.
"Hahaha liat kan kak anak lo, ngeselin. Bisa nya morotin orang, abis itu ngaduh yang enggak-enggak."
...
Iqbal sedang terlelap, begitu juga dengan Stefan yang tengah tertidur disofa. Mamah Ellen dan Papah Adrian pulang ke rumah dan mengatakan bahwa nanti malam akan kembali lagi ke rumah sakit. Diruangan itu hanya Al dan Yuki yang masih membuka mata. Al terlihat menyantap makanannya. Sedang Yuki, bermain game di ponselnya. Sambil mengunyah pria itu terus saja memperhatikan Yuki. Wanita itu berbaring disamping Iqbal, terkadang juga dia tampak mengelus rambut Iqbal saat anak asuh Al itu terusik dalam tidurnya.
"Ki..." Yuki menoleh saat Al menyebut namanya dengan lembut. "Sini makan dulu, sayang."
Wanita itu menggeleng. "Enggak mau makan itu." Ucapnya setengah merengek. Al menghentikan makannya, lalu menghampiri wanita itu dan mengecup bibir Yuki.
"Terus mau makan apa? Hmm? Kenapa enggak bilang?" Yuki memutar tubuhnya hingga menghadap pada Iqbal dan memunggungi Al.
"Pizza!" Jawabnya kemudian.
Al menggaruk-garuk kepala. Oh my god! Nih cewek mau makan pizza aja kenapa harus ngambek dulu sih?! Gumamnya dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pramugari
RomanceCerita ini aku ambil dari facebook ka Alkivers Mom's seinget aku nama aslinya ka ella tapi sekarang sudah jarang aktif di facebook semoga jika ka ella liat aku izin ya ka untuk update disini mengobati kangen ketika story alkivers lagi boming di fac...