Bab 19

213 18 1
                                    

***

Al membaringkan Yuki ke ranjang tanpa melepaskan pelukannya. Wanita itu sama sekali tidak membiarkan Al untuk melepaskan pelukannya dan berada jauh-jauh darinya. Bahkan ketika Al kembali memohon izin untuk mandi karena sudah merasa sangat gerah, Yuki tidak memperbolehkannya dan justru malah semakin merengek tidak jelas kepada Al. Dan pemuda itu hanya menghela nafas sabar menghadapi sikap wanita nya yang mendadak menjadi sangat manja seperti ini.

Mereka sudah berbaring dengan posisi miring dan berhadapan. Yuki mengalungkan kedua tangannya di leher Al sambil terus mengecup pipi calon suaminya itu dengan sayang.

"Aku nggak suka sama wanita itu." Yuki menatap mata Al, seolah berharap agar Al tau bagaimana perasaannya, bagaimana kekecewaannya ketika mengingat betapa agresif nya wanita itu ketika memeluk Al beberapa hari yang lalu di kantor.

"Biar aku batalin aja bisnis kerjasama perusahaan aku dengan dia ya sayang?" Yuki menggeleng.

"Nggak usah. Aku enggak mau bawa-bawa ini ke pekerjaan kamu."

Al mengelus pipi Yuki dengan lembut, lalu menenggelamkan wanita itu ke dalam dekapannya. Ia membisikan kata-kata di telinga Yuki, dan entah apa yang Al ucapkan hingga membuat Yuki terkekeh didalam pelukannya.

...

Pemuda tampan itu sudah tampak segar setelah selesai mandi. Dia sudah berada di ruang santai keluarga dengan pandangan mata terus fokus ke arah laptop dan beberapa berkas-berkas perusahaan yang bertebaran di sana-sini. Beberapa saat yang lalu setelah susah payah menidurkan Yuki dengan nyenyak di ranjangnya, pemuda itu langsung membersihkan tubuhnya didalam kamar mandi karena sebelumnya sempat tertunda sebab tunangannya itu tidak mau di tinggal ke manapun.

"Stefan." Mendengar nama itu disebut oleh Mama Ellen, membuat Al menoleh dan mendampati Stefan sedang melangkah masuk ke dalam rumah. Detik kemudian Al kembali fokus pada pekerjaannya.

"Nata." Stefan nampak kaget dan bingung ketika melihat Nata ada dirumahnya dengan keadaan menangis.

Mama Ellen melambai, mengisyaratkan agar Stefan ikut duduk bersama dengan Nata di ruang tamu. Pemuda itupun menuruti Mama nya. Ia melangkah menghampiri kedua wanita itu tanpa melepaskan sedikit pun pandangannya kepada Nata.

"Kamu dari mana, Efan?" Mama Ellen bertanya setelah Stefan sudah duduk di sampingnya.

"Efan dari--"

"Dari mall dan bersama wanita, iya kan?!" Nata memotong ucapan Stefan kepada Mama nya. Sorot mata wanita itu sangat tajam ketika menatap kekasihnya tersebut.

"Maksud kamu apa sih, Ta?" Suara Stefan masih terdengar lembut. Nata menyerka airmatanya dengan kasar, lalu berdiri tepat di hadapan Stefan.

"Aku ngeliat dengan mata kepala aku sendiri kalau tadi kamu jalan berdua dengan cewek lain, tau nggak?!!" Nata berteriak, hingga membuat Al yang berada di ruangan sebelah menatap ke arah mereka.

Stefan bangkit dari sofa, dia mencoba menenangkan kekasihnya dengan memegang tangan Nata. Tetapi dengan cepat wanita itu menepisnya.

"Enggak usah sentuh-sentuh aku! Aku benci banget sama kamu! Kamu tega banget sama aku, Efan." Nata semakin terisak. Tangisannya terdengar sangat memilukan. Sangat kentara sekali bahwa itu adalah tangisan seseorang yang benar-benar terluka. Mama Ellen mencoba memeluk Nata, menenangkan wanita itu. Tapi justru Nata malah jatuh terduduk lemas di atas lantai. Hingga saat ia kembali mengeluarkan suara, berhasil membuat Mama Ellen, Stefan, dan juga Al benar-benar terkejut.

"Aku hamil."

Mama Ellen mematung di tempat, bingung, tidak tau harus berbuat apa. Rasa sedih, kecewa, malu, semua bercampur menjadi satu. Sampai pada akhirnya cairan bening keluar dari kedua matanya.

"Nata, barusan kamu ngomong apa? Coba jelasin sama kakak." Al menghampiri ketiga orang itu yang berada di ruang tamu, tak jauh dari tempat ia sebelumnya. Suara Al terdengar cukup tenang, tetapi siapapun yang melihat ekspresi wajahnya saat ini pasti tau bahwa pemuda itu sedang menahan amarahnya.

"Nata.. Nata hamil, kak." Kalimat itu terucap untuk yang kedua kali nya dari wanita itu.

Al kemudian menghampiri Mama Ellen yang sudah terduduk lemas di ujung sofa. Wanita itu semakin terisak ketika Al memeluknya. Dia menangis sejadi-jadinya di pelukan anak tiri tampan nya tersebut.

"Kalian berdua, duduk!" Perintah Al cukup tegas. Stefan dan Nata seketika langsung menuruti perintah penguasa Kohler Group yang sudah di kenal atas wataknya yang cukup keras pada semua orang itu.

"Bener lo udah ngelakuin itu sama Nata, dek?" Dengan masih terus menunduk, Stefan pun menjawab apa yang di tanyakan oleh Al.

"Iya kak. Maafin Efan. Maafin Efan udah buat kakak kecewa." Al mengalihkan pandangannya pada Nata.

"Udah berapa minggu usia kehamilan kamu, Nata?" Sambil terisak Nata pun menjawab.

"Empat minggu kak. Tapi, Nata mau ngegugurin anak ini aja. Percuma Nata membesarkan dia kak, kalau Stefan nya juga nggak peduli sama Nata. Dia bukan merhatiin Nata, merhatiin kondisi Nata, dia justru jalan sama wanita lain kak."

Al berdecak. "Jangan ngomong kayak gitu, Ta! Dalam minggu-minggu ini, kakak akan mempersiapkan pernikahan kalian. Kakak akan persiapkan rumah untuk kalian setelah kalian menikah. Dan sekarang, biar sopir ngantar kamu pulang Nata karena ini sudah malam. Kakak masih mau bicara sama Efan."

Stefan menangis histeris saat meminta maaf kepada Al dan Mama Ellen atas perbuatannya yang sudah mengecewakan keluarga. Papa Adrian sendiri kebetulan masih berada di luar kota dan tidak mengetahui masalah ini. Tangisan Stefan semakin histeris ketika bersimpuh di hadapan Al yang masih duduk di sofa. Stefan merasa benar-benar telah mengecewakan Al. Selama ini Al sudah benar-benar baik padanya, memanjakannya, selalu menuruti apapun yang Stefan minta.

...

Al masuk ke dalam kamarnya, dan menemukan wanita yang sangat ia cintai masih terlelap di atas ranjangnya. Dalam hati, Al merasa legah sekali karena Yuki tidak mengetahui keributan yang baru saja terjadi di bawah sana. Ia menghampiri wanita itu dan duduk di tepi ranjang. Di amati wajah malaikat Yuki yang sedang terlelap. Al tersenyum, lalu mengecup bibir Yuki cukup lama. Tangan Al tak henti mengelus rambut Yuki, sampai detik kemudian ia di buat terkejut saat wanita itu membalas kecupannya.

Yuki tersenyum saat Al menatapnya. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher Al, dan dengan segera Al menyatukan kembali bibirnya dengan Yuki. Keduanya sangat menikmati ciuman itu.

"Untuk saat-saat ini-- emhh. Jangan ngambek-ngambek dulu sama aku ya, sayang." Gumam Al di sela-sela ciumannya. Yuki mengangguk sebagai jawaban seolah tak mau melepaskan ciumannya.

Al menarik Yuki, hingga membuat wanita itu menjadi duduk. Ciuman mereka sama sekali tidak terlepas saat Al kembali meneruskan ucapannya.

"Aku lagi banyak masalah sayang. Jadi jangan ngambek-ngambek dulu ya sayang ya?" Yuki melepaskan ciumannya, kemudian menjawab ucapan Al.

"Iya sayang." Al mengecup dahi Yuki, kemudian berjalan ke meja kerjanya untuk kembali meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Yuki pun mengikuti nya. Saat Al sudah duduk di kursi kerjanya, ia pun menarik Yuki untuk duduk di pangkuannya.

"Aku kerja dulu ya sayang." Tangan Al mulai sibuk mengotak-ngatik tombol yang ada pada laptopnya.

Sementara Yuki tampak menyandar dengan nyaman di bahu Al. Sambil sesekali mencium leher Al. Awalnya Yuki hanya menghirup aroma segar dari leher Al, tetapi lama kelamaan ia menggerak-gerakkan hidung mancungnya disana hingga membuat Al menegurnya karena tak tahan geli dan membuat konsentrasi kerjanya terganggu.

"Udah sayang. Geli, ke ganggu ini." Teguran Al justru membuat Yuki merajuk dan merengek-rengek tidak jelas. Al pun semakin serba salah di buatnya.

"Hmm.. Aku enggak boleh cium.. Aku kangen tau, malah di marahin."

Al menghentikan aktifitasnya karena rengekkan Yuki berubah menjadi isakkan. Dalam hati Al semakin bingung dibuatnya. Kenapa wanita ini mendadak menjadi manja sekali? Gampang ngambek? Gampang nangis?

"Kok jadi nangis sih, sayang. Boleh kok, siapa yang enggak ngebolehin? Siapa yang marahin sayang? Nih, cium lagi nih. Jangan nangis dong."

***

Sang PramugariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang