Bab 26

229 17 2
                                        

***

"Apa mau kamu, Pe? Kenapa kamu selalu mengganggu hidupku? Aku kesini cuma untuk bilang kalau mulai saat ini kamu jangan pernah ganggu hidupku!" Al menatap marah ke arah Pevita yang sekarang duduk didepannya.

"Aku deketin kamu dan aku ganggu hidup kamu karena aku enggak suka kamu berhubungan dengan wanita itu!" Pevita mengangkat dagunya. Sementara Al langsung meradang melihat betapa menyebalkannya dan betapa tidak tahu dirinya wanita ini.

"Wanita yang kamu sebut dengan 'wanita itu' adalah wanita yang sangat aku cintai. Sampai kapanpun tidak ada satu orang pun yang bisa mengubah keputusanku untuk tetap mencintainya. Dan kamu! Kamu enggak punya hak untuk ngatur-ngatur hidupku. Kamu pikir kamu itu siapa?!!"

Kata-kata kasar Al membuat Pevita pucat pasi. Dia membelalakkan matanya yang indah, luka yang amat dalam tampak disana tetapi dia mampu menguasai dirinya.

"Tapi aku mencintaimu, Al. Aku belum bisa melupakanmu. Aku enggak bisa hidup tanpamu."

"Itu urusanmu!" Telunjuk Al menuding ke wajah Pevita. Dia berdiri bersiap hendak pergi. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat berat dan sakit yang amat sangat. Al hampir terjatuh, namun Pevita langsung menahan tubuh Al.

"Al, kamu enggak apa-apa?" Tanyanya perhatian.

"Jangan sentuh-sentuh aku!" Al sempat membentak Pevita. Namun sakit dikepalanya terasa semakin parah hingga membuatnya tak sadarkan diri.

Dan senyuman jahat pun muncul di bibir Pevita.

...

Iqbal berjalan menuruni tangga sambil menyenandungkan sebuah lagu. Namun ketika ia melihat seorang pria baru saja masuk ke dalam rumah langkahnya pun terhenti. Ia melihat arloji mahalnya yang berada di pergelangan tangan kanan, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

"Pah, Papah dari mana?" Iqbal menanyakan itu ketika sudah berada di depan Papahnya. Ya, pria yang ia lihat tadi adalah Al. Pria itu hanya tersenyum kaku pada Iqbal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Iqbal mengernyit bingung. Ada apa dengan Papahnya?

Lampu kamar itu menyala, ketika tangan kekarnya menyentuh tombol yang menempel di dinding. Dengan langkahnya yang pelan, Al berjalan mendekati ranjang dan duduk disana. Dia memijat pelipisnya dengan keras. Kepalanya mendadak pusing mengingat apa yang telah terjadi padanya dan juga Pevita. Beberapa saat yang lalu dia berada di hotel. Al sama sekali tidak mengingat kenapa tiba-tiba ia bisa berada di hotel, padahal sebelumnya dia masih berada di cafe bersama Pevita. Mungkin karena sudah terlalu banyak minum alkohol membuatnya berada dibawah alam sadar. Yang bisa Al ingat, saat Al membuka mata diranjang hotel ia melihat disampingnya ada wanita, dan wanita itu menangis. Ketika dia menatap bahu Pevita, astaga dia baru menyadari bahwa dirinya juga tidak memakai sehelai benang pun. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa dia bisa sampai kehilangan kendali.

"Yuki.. Maafin aku, sayang."

...

Wanita itu masuk kedalam kediaman Al dengan mulut ternganga karena kagum. Sebentar lagi, dia akan menjadi bagian dari rumah ini. Dan tak lama lagi, dia akan menjadi Nyonya dirumah ini. Nyonya Pevita Al Kohler. Senyuman iblisnya pun muncul. Ternyata tidak begitu sulit untuk menjebak seorang Al kedalam perangkapnya.

"Hey!" Pevita menoleh, dan tampak Iqbal disana yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik wanita itu. "Berani banget Lo menginjakkan kaki dirumah ini?!"

Pevita tersenyum. "Anak manis, begitu cara kamu menyambut kedatangan wanita yang tidak lama lagi akan menjadi Ibumu?"

Iqbal mengernyit. Apa maksud wanita ini? Pede sekali dia? "Hey?! Lo udah kehilangan akal? Jangan kan Ibu, bayangan untuk Lo jadi pelayan dirumah ini juga enggak ada! Sekarang lebih baik Lo keluar deh, sebelum Gue panggil Bodyguard buat nyeret Elo keluar!"

Oh My God! Ini anak belagu banget sih. Kalau enggak mikir-mikir Gue mau jadi Istri Al, udah Gue gampar nih anak. Sabar Pevita sabar, Lo enggak boleh galak-galak sama nih anak. Bisa-bisa Al akan menghancurkanmu.

"Iqbal sayang.. Jangan begitu dong, Nak. Dengerin Mamah dulu." Pevita hendak menyentuh Iqbal namun dengan cepat pemuda itu menepisnya.

"Jangan sentuh-sentuh Gue! Keluar Lo dari sini, KELUAR!!!!!!!" Teriakkan Iqbal terdengar di telinga Al yang baru saja hendak melangkah menuruni tangga. Hingga dengan geram Al pun berteriak dari lantai dua, dan suaranya yang dingin itupun menggema ke setiap sudut ruangan.

"IQBAL.. Jaga sikapmu!!!"

Dengan ekspresinya yang terkejut, Iqbal menatap Papahnya dengan tidak percaya. Dia tidak pernah dibentak oleh Al, dan hari ini hanya karena wanita ini sang Papah membentaknya? Tanpa menunggu lama Iqbal berlari keluar rumah dengan mata berkaca-kaca.

"Mau apa kamu kesini?" Al sudah berada dilantai dasar dan berhadapan dengan Pevita. Wanita itu hendak merangkul Al dan bermanja-manja, namun ketika tatapan Al menajam wanita itupun menciut. "Jaga batasan kamu, Pe! Aku sudah tunangan. Benar kata anakku, kamu enggak berhak ada disini."

"Cukup!" Pevita berteriak. Airmatanya tampak mengalir dipipinya. "Setelah apa yang kamu lakuin ke aku, kamu bilang aku enggak berhak ada disini?! Kamu pikir aku wanita apaan Al?! Tega kamu ya!!!"

"Pe.!!!" Al mengerang melihat kepergian Pevita. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Kenapa?

...

"Benar, ini kediaman Nona Yuki?" Seorang pria tengah berbicara dengan salah satu asisten rumah tangga di kediaman Yuki. Dia membawa sebuah paket yang tidak diketahui apa isinya.

"Yah benar, ini kediaman Nona Yuki." Wanita bertubuh sedikit gempal itu menjawab.

"Ini ada kiriman untuk Nona Yuki, mohon disampaikan ya Bik." Bibik itupun menerimanya dan membawakan kiriman itu ke kamar Yuki.

..

"Apa ini, Bik?" Kiriman itu sudah berada ditangan Yuki saat ini. Wanita itu sedang berada didalam kamarnya untuk menonton acara televisi.

"Bibik enggak tau Non, tadi katanya pengirimnya buat Non. Yaudah ya Non bibik permisi dulu." Yuki mengangguk-angguk dan dengan segera melihat isi yang ada di paketan tersebut.

Entah apa yang dilihatnya, hingga membuat sekujur tubuhnya menegang, nafasnya terdengar tak beraturan, wajahnya merah, dan matanya berkaca-kaca. Sampai pada akhirnya Yuki tidak tahan melihatnya hingga membuatnya berteriak dan menangis histeris.

"AAAAAAAAhHHHHHHH...!!!! Hemm huhuhuhuhuhu..."

Suara jeritan dan tangisan Yuki menggema hingga ke lantai dasar. Salah satu pelayan langsung naik ke atas untuk melihat keadaan Yuki. Mereka menggedor-gedor pintu kamar itu namun tak diperdulikan oleh Yuki. Yuki tetap berteriak dan menangis. Para pelayan itu bingung harus memberitahukan pada siapa karena kedua orangtua Yuki sedang berada diluar negeri. Sampai pada akhirnya mereka menelfon Al, dan menyuruhnya untuk segera datang.

***

Sang PramugariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang