Bab 17

263 23 3
                                    

***

Emosi Al sungguh luar biasa buruknya malam ini. Setelah beberapa waktu yang lalu ia juga pernah emosi karena melihat Yuki berpelukan dengan Rasya, kini emosi CEO muda itu kembali terpancing bahkan jauh lebih buruk dari yang sebelumnya.

Beberapa saat yang lalu, Al baru saja membanting gelas ke lantai karena sang asisten rumah tangga salah memberinya minuman. Tak hanya itu, bodyguard yang menjaga rumahnya juga terkena dampratan karena terlalu lama membukakan pintu gerbang saat ia baru pulang dari kantor. Dan Stefan yang tak tau apa-apa juga ikut terkena semprotan emosi Al hanya karena menonton televisi dengan volume keras. Padahal hari-hari biasanya Al tidak pernah mempermasalahkan itu.

Tetapi Stefan mengalah. Ia mematikan televisi kemudian masuk ke dalam kamar tanpa berani membantah sang kakak. Stefan sudah sangat paham, jika Al sudah emosi ia sama sekali tidak mau di lawan. Jika di lawan, sudah dipastikan emosi Al akan semakin meledak-ledak.

Jika sudah begini, hanya Mama Ellen lah yang bisa menenangkan Al. Kenapa bisa begitu? Karena Mama Ellen adalah wanita yang sangat lembut saat berbicara, dan sangat sabar menghadapi sikap Al. Hal itulah yang membuat Al sangat menyayangi dan menuruti Mama tiri cantiknya tersebut.

...

"Ya Tuhan... Kenapa rumahnya bisa begini? Apa ada angin puting beliung yang mampir kesini tadi?" Mama Ellen menatap pecahan gelas yang berserakan di atas lantai, dan ruang keluarga yang begitu acak-acakan.

Wanita cantik itu baru saja pulang arisan dengan kalangan ibu-ibu sosialita lainnya. Sementara Papa Adrian sedang berada di Bandung karena ada urusan penting.

"Bibiiiiikkkkkk!!!" Mama Ellen berteriak keras. Tak lama seseorang yang di panggilnya pun muncul.

"Ya, Nyonya."

"Ini kenapa rumah bisa kayak begini, Bibiiikkkk.!! Ada apa sebenarnya?!"

"Anu, Nya. Den Al.. Den Al ngamuk-ngamuk, Nya. Semua barang-barang di pecahin. Kita semua yang dirumah sampai enggak berani mendekat, Nya." Mama Ellen mengerutkan kening, lalu bergegas naik ke lantai dua untuk melihat kondisi Al.

...

"Kakak."

Mama Ellen masuk ke dalam kamar Al. Dan tampak pemuda itu sedang berbaring telentang di atas ranjang besarnya sambil bermain game. Al sempat melirik sekilas ke arah Mama nya, lalu kembali fokus pada benda persegi panjang itu.

"Anak Mama, udah makan malam belum sayang?" Mama Ellen bertanya lembut seraya mendaratkan kecupan hangatnya di kening Al. Pemuda tampan itu hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Makan dong, sayang. Ntar kakak sakit lho." Mama Ellen mengelus kepala Al. "Kakak kenapa? Ada masalah apa? Cerita sama Mama, Nak. Biar Mama bantu."

Al menghentikan aktifitasnya, lalu merubah posisinya menjadi duduk menyandar di pangkal ranjang. Ia menatap sang Mama, dan mulai menceritakan semuanya.

"Yuki, Mam. Yuki bikin kakak kecewa banget tau nggak? Dia keras kepala banget, nggak mau ngedengerin penjelasan kakak, Ma. Dia cuma salah paham karena ngeliat Pevita meluk kakak. Kakak juga nggak tau kenapa Pevita tiba-tiba dateng terus ngelakuin itu. Kakak udah berusaha mencoba menjelaskan semuanya, tapi Yuki tetap dengan kepalanya yang keras itu nggak mau dengerin kakak. Dan yang bikin kakak lebih emosi, Mam. Dia bilang mau membatalkan pertunangan ini. Apa dia pikir semua ini hanya main-main apa? Dia itu benar-benar enggak ngerhargain kakak. Padahal kakak ini kan calon suami dia."

"Pevita?" Al mengangguk. "Bukannya Pevita sudah tidak punya hubungan lagi dengan kakak?"

Al menghela nafas. "Tau tuh! Kakak juga bingung liat dia, Mam."

"Kakak udah coba ngehubungin Yuki belum?" Al mendecakkan lidah.

"Buat apa kakak dia nelfon dia Ma? Dia tuh udah enggak ngehargain kakak."

"Enggak boleh begitu. Salah satu harus ada yang mengalah dong, sayang. Kalau nggak ada yang mau mengalah, ya bakalan tambah ribet nanti nya. Kakak coba minta maaf dulu sama Yuki. Yuki bakalan ke Australia lho besok, dan yang Mama denger dari Tante Viona sewaktu di arisan tadi, Yuki nggak sebentar disana. Kira-kira lima sampai enam hari gitu, kak. Tapi kakak tenang aja, urusan Yuki biar Mama yang omongin sama Tante Viona ya. Yang penting inget pesan Mama. Harus ada yang mengalah." Mama Ellen mengecup pipi Al sebelum meninggalkan putranya di dalam kamar.

Sepeninggalan Mama Ellen dari kamarnya, pemuda itu mulai mencerna apa yang di katakan sang Mama barusan. Dan memang benar, salah satu dari mereka harus ada yang mengalah. Jika tidak maka masalah kesalahpahaman ini akan semakin runyam saja. Dan tentunya akan berpengaruh buruk untuk hubungan mereka.

...

Dan tibalah hari keberangkatan Yuki ke Australia pagi ini. Wanita cantik itu masih terlihat sibuk mengemas barang-barang keperluannya selama di Australia yang memakan waktu kurang lebih lima hari tersebut. Wajahnya nampak lesuh dan tak bersemangat. Semalaman dia tidak tidur, karena terlalu sibuk memikirkan Al.. Lelaki yang sudah ia cintai, sudah menjadi tunangannya. Dan lelaki itu tega-teganya berpelukan dengan wanita lain. Bahkan lelaki itu sama sekali tidak menelfonnya untuk meminta maaf. Apa dia memang sudah tidak peduli?

"Lanjutkan saja jika memang itu mau mu." Wanita itu bergumam lirih, seraya menyerka airmata nya yang mulai menetes di pipi.

...

Di rumahnya, Al juga nampak bersiap-siap untuk pergi ke kantor karena akan ada pertemuan penting dengan rekan bisnis nya yang berasal dari China. Setelah semuanya sudah beres, berkas-berkas penting nya juga sudah berada di dalam mobil. CEO muda tampan itu akhirnya bergegas ke kantor untuk memulai kembali aktifitasnya sebagai orang paling sibuk sedunia.

Dalam perjalanannya menuju kantor, pikiran pemuda itu terus tertuju kepada tunangannya. Al tau, hari ini adalah hari dimana keberangkatan Yuki ke Australia. Tetapi, Al tetap bungkam sejak kemarin. Ia tidak ada mengirim sms, menelfon, dan lain sebagainya kepada Yuki. Bukan karena Al tidak peduli, tetapi karena ia hanya ingin Yuki menghargainya sebagai tunangannya, calon suaminya. Karena yang Al lihat dari Yuki selama pertengkaran kemarin adalah, Yuki tidak menghargainya sedikit pun sebagai lelaki.

Dan setelah menempuh perjalanan yang sedikit memakan waktu, mobil Al akhirnya memasuki area parkir gedung pencakar langit bertuliskan 'Kohler Group' yang terukir angkuh di puncak bangunan.

Setelah mobil sudah berhenti sempurna di tempat parkir khusus untuk mobilnya, pemuda tampan itupun keluar dari dalam mobil. Dia terlihat sangat fress dan tampan sekali dengan kacamata hitam yang masih membingkai kedua matanya. Namun ketika hendak masuk ke dalam gedung kantornya, Al dibuat terkejut oleh kehadiran sosok wanita cantik yang kemarin tiba-tiba memeluknya, juga berada di tempat parkir yang sama dengan mobil Al. Wanita itu berdiri menyandar pada mobil sport merahnya sambil terus menatap Al.

"Al, tunggu!" Pevita. Wanita itu menarik lengan Al saat pemuda itu hendak masuk ke dalam, seolah tak peduli dengan kehadirannya disana.

"Lepasin tangan aku, Pe!" Ucap Al ketus. Hingga membuat wanita itu langsung melepaskan lengan Al yang di pegangnya.

"Al... Pleas, dengerin aku dulu. Aku masih sayang kamu, Al. Kenapa kamu ninggalin aku gitu aja tanpa memberi kepastian pada hubungan kita?" Dari balik kacamata hitamnya, Al mengetahui jika wanita itu sedang meneteskan airmata. Namun Al tak peduli.

"El, lelaki yang kamu liat Cafe waktu itu bukan siapa-siapa aku, Al. El hanya rekan bisnis aku."

"Jangan buang airmata kamu hanya untuk menangisi aku, Pe. Karena semua itu hanya sia-sia. Aku udah nggak peduli siapa El. Mau dia pacar kamu, rekan bisnis kamu, atau apalah itu, aku udah enggak peduli dan itu juga udah bukan urusan aku lagi. Sekarang, lebih baik kamu enggak usah ganggu aku lagi."

"Kenapaaaaa?!!!" Pevita berteriak putus asa. "Kenapa Al, kenapaa?!! Apa karena wanita yang kemarin? Iya?!! Apa karena dia kamu jadi begini sama aku? Jawaaabbb.!!!"

"Iya. Karena dia. Dia wanita yang sudah sangat aku cinta, sangat aku sayang. Dan dia.. Dia tunangan aku!"

Jawaban Al yang mengatakan bahwa ia sudah bertunangan membuat hati Pevita seperti di tusuk dengan ratusan jarum yang sangat tajam. Sakit dan perih. Tak terasa airmata Pevita terus mengalir semakin deras membasahi pipinya. Hal itu membuat Al tersentuh. Di rengkuh nya Pevita ke dalam pelukannya. Dan meledaklah. Pevita semakin menangis histeris di pelukan Al.

"Aku mau, ini terakhir kali kamu menangis untuk aku, Pe. Kamu wanita yang cantik, bahkan sangat cantik. Kamu wanita yang hebat. Kamu bisa mendapatkan lelaki manapun yang kamu mau, dan yang pasti lebih baik dari aku." Al melepaskan pelukannya, lalu melangkah masuk ke dalam gedung.

Meninggalkan Pevita sendiri disana.

...

Lima hari telah berlalu. Siang ini, Al sudah berada di bandara Soekarno - Hatta untuk menjemput Yuki yang baru pulang dari tugasnya ke Australia. Seluruh meeting penting telah Al batalkan hanya untuk menjemput tunangannya.

Malam tadi, rupanya Al berkunjung ke rumah Yuki untuk berbicara dengan Mama Viona dan Papa Herry mengenai kesalahpahaman ini. Kedua orangtua Yuki memaklumi nya. Mereka sengaja menyuruh Al untuk menjemput Yuki sepulangnya dari Australia. Agar hubungan keduanya kembali membaik. Awalnya Al sedikit ragu, karena sudah di pastikan Yuki akan menolak mentah-mentah jika Al yang menjemputnya. Tetapi Papa Herry dan Mama Viona terus meyakini Al, dan akhirnya Al pun menuruti perintah calon mertua nya itu.

Dan tampak lah di ujung sana, wanita cantik lengkap dengan seragam pramugari nya berjalan ke arah Al dengan wajah raut wajah yang tidak suka melihat kehadiran Al disana.

Yuki menepis tangan Al saat pria itu hendak menggandengnya menuju mobil. Al pun hanya menghela nafas sabar.

...

Di dalam mobil kedua sejoli itu sama-sama saling diam. Tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Yuki sama sekali tidak menyembunyikan wajah jengkel nya pada Al. Ia terus menatap lurus ke depan tanpa mau memandang ke arah Al.

***

Sang PramugariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang