Bab 28

158 14 0
                                    

***

Al masih memeluk wanita itu dengan erat, sambil terus mengecupi kepala Yuki. Ia tidak tau harus berbuat apa agar Yuki tidak menangis histeris seperti ini. Sejujurnya Al bingung, apa yang membuat Yuki bisa histeris seperti ini.

Pria itupun melepaskan pelukannya. Dengan penasaran, Al pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Yuki. Berharap menemukan sesuatu yang menyebabkan Yuki seperti ini. Hingga pada akhirnya pandangan tertuju pada lembaran-lembaran foto yang terkulai diatas lantai. Dia mengernyit seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil foto itu. Dan...

"Astaga.. Oh Tuhan.." Al membelalak kaget melihat foto itu. Mungkin.. Ini penyebab kekasihnya menangis histeris. "Yuki sayang... Aku bisa ngejelasin."

"CUKUP.....!!!" Yuki berteriak. Jeda sejenak, ia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Tuan Al! Aku nyuruh kamu ketemu wanita itu cuma untuk mengatakan padanya agar dia tidak mengganggumu lagi, bukan untuk TIDUR DENGANNYA.!!!!"

"Sayang..." Al hendak menyentuh Yuki namun wanita itu terus menepis tangannya.

"PERGI...!!!! Aku enggak mau liat kamu lagi.."

"Tapi sayang,, Ak---"

"PERGI....!!!!"

Teriakan Yuki membuat Al memejamkan matanya. Dia terdiam disana. Mungkin benar apa yang diperintahkan Yuki, dia harus pergi dari sini. Dia harus membiarkan wanitanya untuk menenangkan diri.

...

Pria itu duduk menyendiri disana. Diruangan kerjanya yang luas, Al duduk dengan mata terpejam. Jari-jari panjangnya tampak sedang memijat kedua pelipisnya. Apa yang telah terjadi padanya saat ini, membuat kepala Al disengat rasa pening. Dia tidak tau harus berbuat apa.

Al membuka matanya saat ponselnya yang berada di atas meja berdering menandakan sebuah panggilan. Dengan malas, ia pun mengambil benda menjerit itu dan menerima panggilan telefon.

"Hallo.."

Seseorang di seberang sana mengerutkan kening ketika mendengar suara sapaan Al yang terdengar lesuh.

"Kak Al, Lo baik-baik aja?" Ternyata Stefan yang menelfonnya. "Suara Lo kok lemes gitu?"

"Gue bingung, Fan. Iqbal.."

"Iqbal?" Stefan seolah tidak mengetahui tentang apa yang terjadi dengan Iqbal.

"Iya. Efan, Iqbal hilang. Gue enggak tau Iqbal dimana. Dia pergi, Fan. Dia enggak bawa uang sedikit pun. Dia juga enggak bawa mobil. Dimana anak gue, Fan? Gue mau anak gue kembali."

Stefan tersenyum disana. Dia senang karena sang Kakak masih mencemaskan putranya, masih membutuhkan putranya. Tidak seperti yang dikatakan Iqbal tadi, bahwa Al sudah tak membutuhkannya lagi.

"Iqbal ada dirumah gue, Kak Al."

Al terbelalak disana. Tak percaya dengan perkataan Stefan. "Fan, Lo jangan becanda. Gue serius."

"Gue juga serius tau. Iqbal ada disini. Dan---" Stefan menceritakan semuanya kepada Al hingga membuat CEO Kohler Group's itu sedih mendengarnya.

"Anak gue mau gadaikan arloji nya? Oh Tuhan.."

"Yah, memang Oh Tuhan. Kenapa Elo kasar dengan Iqbal, Kak? Apa salah anak Lo?! Lo mau buat Iqbal kembali ke jalanan, iya? Hati gue hancur Kak saat Verrell bilang kalau Iqbal mau gadaikan arlojinya. Anak Al, anak CEO kaya raya gadaikan arloji?"

Perkataan Stefan terasa menyakitkan bagi Al. Ia merasa tidak berguna sebagai Papah. Ia sudah membentak Iqbal hingga membuat putranya itu nekat ingin menggadaikan jam tangannya hanya demi uang. Bahkan lebih dari cukup Al bisa memberikan sejumlah uang untuk Iqbal.

"Fan, gue kelepasan. Gue kelepasan marahin Iqbal. Gue enggak sengaja, Efan."

Stefan menarik nafas diseberang sana. "Gue enggak tau apa masalah Lo, Kak. Tapi yang jelas gue minta sama Lo, jangan bawa-bawa masalah Lo sama Iqbal. Kalau Lo udah enggak mau ngurus dia, biar dia ikut gue aja."

"Tidak!" Tegas Al. "Iqbal anak gue! Gue Papahnya! Iqbal harus tetap ikut gue, Fan. Lo enggak bisa ngambil dia dari gue. Besok gue kesana, jemput Iqbal!"

Al kemudian memutuskan telefonnya. Dia marah dengan ucapan Stefan, sekaligus legah, karena dia sudah mengetahui keberadaan putranya.

...

Wanita cantik dengan perut sedikit membuncit karena kehamilannya itu terlihat berjalan sambil membawa sebuah nampan yang berisi segelas susu dan bubur ayam. Dia hendak menaiki tangga, namun ketika sang suami menyebut namanya mengurungkan niatnya.

"Nata.." Wanita itupun menoleh dan menjawab.

"Ya sayang."

Stefan menghampiri sang istri. "Ini, buat siapa?"

Sambil tersenyum Natasha pun menjawab. "Untuk ponakan ku tersayang."

Senyumannya menular pada Stefan. Sepasang suami/istri itupun menaiki tangga menuju lantai dua untuk menemui Iqbal. Sesampainya dikamar tamu, yang saat ini di huni oleh Iqbal, mereka berdua menemukan Iqbal terbaring tengkurep dengan badan gemetar. Yah, Iqbal masih menangis.

"Iqbal.. Sayang.. Hey.." Natasha mengelus-elus rambut Iqbal dengan sayang. "Makan dulu yuk, Iqbal baru datang dari Jakarta pasti capek kan, sayang? Iqbal juga belum sembuh total, jadi makan dulu yuk. Ini Tante buatin bubur ayam, kesukaan Iqbal."

Iqbal merubah posisinya menjadi duduk menyandar pada pangkal ranjang. Matanya nampak sembab dan hidungnya memerah karena terlalu banyak menangis. Stefan tersenyum melihat Iqbal.

"Ohh.. Jagoan Om, cengeng banget sih. Udah delapan belas tahun juga, masih aja ngambekkan kayak anak kecil. Besok Papah Al kesini. Dia khawatir banget sama putra semata wayangnya." Stefan pun menarik hidung Iqbal dengan keras. Hingga membuat putra Al itupun mengeluarkan suaranya.

"Sakit, Om Efan."

"Udah-udah.. Jangan becanda terus!" Natasha menegur kedua pria itu. "Nih, buka mulutnya sayang.. Tante suapin.."

...

"Mau apa Lo kesini?!!"

Suara dingin dan lantang itu milik Al. Sebelumnya pria itu berniat pulang untuk membersihkan diri sekaligus menyegarkan otaknya. Namun ketika hendak membuka pintu ruangannya, Al dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita di depan pintu ruangannya. Dan wanita itu adalah Pevita.

"Kamu kenapa sih, Al? Kenapa kamu marah-marah terus sama Aku?" Suara Pevita dibuat sedikit manja, hingga terdengar menjijikkan ditelinga Al.

"Jangan banyak basa-basi, bilang apa mau Lo, Pe? Gue mau pulang!"

Melihat sikap acuh Al padanya, membuat wanita cantik itu menjadi kesal sendiri. Dia melakukan suatu cara agar Al simpatik padanya. Tapi apakah semuda itu membuat seorang Al yang sangat keras kepala menjadi simpatik?

"Mau Aku kita menikah!" Al terbelalak kaget. Nampak tak percaya dengan ucapan semberono dari wanita dihadapannya.

"Kenapa sih, kamu itu cuek banget sama aku? Dingin banget sama aku? Apa kamu lupa dengan apa yang udah kamu lakuin ke aku? Aku udah enggak punya masa depan lagi Al? Aku udah kehilangan kehormatan aku. Dan kamu pikir semua itu karena siapa? Karena kamu!!! Mana hati nurani mu? Mana? Sampai kapan kamu terus begini sama aku?!" Ucapan Pevita yang diiringi oleh tangisan sempat membuat Al merasa iba. Dia berniat ingin merengkuh wanita itu kedalam dekapannya, namun ketika Pevita melanjutkan ucapannya, Al justru berubah 360 derajat menjadi murka.

"Aku tau kenapa kamu seperti ini sama aku. Karena Yuki kan? Kamu memikirkan tentang wanita itu kan, Al?! Untuk apa kamu memikirkannya? Toh kamu juga enggak tau apa yang dilakukan olehnya diluar sana. Mungkin saja, dia tidur dengan pilot saat sedang bertugas dan beristirahat dihotel?!!"

*plaakkkkkkkkkkkkk*

***

Sang PramugariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang