Bab 27

133 13 0
                                    

***

Papah muda itu terlihat berjalan mondar-mandir, kesana dan kesini. Pikirannya tidak tenang, pikirannya terbagi menjadi dua. Antara memikirkan Iqbal dan juga Yuki. Entah mengapa sedari tadi perasaannya dicekam rasa tak tenang ketika mengingat wanita itu. Wanita itu terus-menerus menghantui pikirannya. Namun Al tidak mengetahui apa penyebabnya.

Dan Iqbal, Al tidak mengetahui dimana saat ini putranya berada. Sejak tadi dia menelfon nomor putranya, namun lagi-lagi suara operator sialan itu yang menjawab panggilannya dan memberitahukan bahwa nomor Iqbal tidak aktif.

...

Al memukul roda kemudinya dengan sangat keras. Sudah lebih dari dua jam ia mengelilingi Ibukota untuk mencari keberadaan Iqbal, namun putranya tidak ada dimana-mana. Seakan-akan Iqbal telah ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak. Al juga sudah mendatangi kediaman Orangtuanya, dan disana Iqbal juga tidak ada.

Dia mendesah panjang, sambil memejamkan matanya. "Dimana kamu, Nak? Maafin Papah.. Papah enggak sengaja bentak kamu."

Yang membuat Al sangat khawatir, Iqbal tidak membawa dompet. Iqbal meninggalkan dompetnya dirumah. Semua ATM nya ada didompet. Iqbal tidak membawa uang sedikit pun. Iqbal juga tidak membawa mobilnya.

Al sudah menyalakan mesin mobil dan memindahkan persneling, berniat pulang kerumah. Namun tiba-tiba ponselnya yang berada diatas dashboard berdering menandakan ada sebuah panggilan. Tangan kirinya terulur mengambil benda itu dan melihat sekilas ke arah layar, 'Rumah Yuki' tertera disana. Al mengerutkan kening sebelum kemudian menempelkannya ketelinga setelah menyentuh Ikon 'jawab'.

"Hallo.."

Entah apa yang dikatakan orang di telfon hingga membuat Al panik dan segera menginjak pedal gas menuju rumah Yuki.

...

"Bibik.. Tolong bukain pintu!"

Suara Stefan menggema di setiap sudut rumahnya ketika sedang berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Dia sedang berada diruang keluarga bersama sang Istri, Natasha. Menunggu yang dipanggil tak kunjung terlihat, pria itupun memutuskan untuk membukakan pintu.

Pintu terbuka, dan tampaklah sosok pemuda tampan berdiri diambang pintu dengan wajahnya yang pucat dan kepala tertunduk lesuh. Stefan kaget melihat kedatangan orang itu, baru saja ia hendak bertanya ketika tiba-tiba ponsel yang berada didalam saku celananya bergetar, mengurungkan niatnya.

"Hallo."

"Stef, gue harap Iqbal sudah sampai dirumah Lo. Karena yang Gue tau, pesawat tujuan Palangkaraya sudah mendarat dua puluh menit yang lalu. Tadi Gue nemuin Iqbal dipinggir jalan, Stef. Dia kelihatan jauh dari kata baik. Gue tanya dia mau kemana, terus dia jawab mau ke rumah Lo tapi enggak pegang uang sama sekali. Dia mau gade'in arloji mahalnya sama Gue, tapi Gue enggak mau. Gue enggak tega. Terus Gue anter aja dia ke bandara, dan Gue bekalin uang sepuluh juta. Karena yang Gue tau dia pengen ke rumah Lo. Dia sudah disana kan? Kayaknya dia lagi ada masalah sama Kak Al."

Ternyata Verrell yang menelfon. Sepanjang penjelasan CEO Garuda Indonesia itu, Stefan tak sedikit pun melepaskan pandangannya pada pria yang tertunduk lesuh di hadapannya.

"Dia udah disini kok. Maaf ngerepotin Lo ya Bro. Entar Gue ganti uangnya ya. Entar Gue transfer ke rekening Lo."

Verrell berdecak tak senang disana. "Apaan sih Lo! Kayak Gue siapa aja. Udah jangan diganti. Dia itu keponakan Lo, dan udah Gue anggep sebagai keponakan Gue juga. Yang penting dia udah disana dan Gue udah legah banget."

"Thanks banget ya, Rell."

"Yups. Sama-sama. Gue tutup dulu telfonnya yah? Bye."

"Ok, Bye!"

Stefan menatap kasihan pada Iqbal yang masih tertunduk. Dia menyentuh dagu Iqbal, hingga membuat putra Al itu menatapnya dengan pandangan yang sudah mengabur karena telah dipenuhi oleh airmata. Dengan segera, ia merentangkan kedua lengannya dan tanpa menunggu lama Iqbal langsung memeluknya. Tangisan Iqbal Pecah, ia semakin tergugu dipelukan Stefan.

"Owh ponakan, Om. Udah-udah jangan nangis.." Stefan mengelus-ngelus rambut Iqbal mencoba menenangkannya.

"Em..eh.. Pap--Pah udah eng--gak sayang sama Iqbal, Om. Pa--Pah udah enggak bu--butuh Iqbal." Suara Iqbal serak dan nyaris hilang. Dia sepertinya sangat terluka atas bentakkan sang Papah.

"Sssttt.. Udah-udah, masuk yuk masuk."

...

Al mendorong keras pintu kamar Yuki. Dia melihat keadaan Yuki yang jauh dari kata baik. Wanita itu menjerit dan menangis. Dia duduk diatas lantai dengan kepala menunduk dan memeluk kedua lututnya.

Al segera melesat menghampiri tunangannya, kemudian berjongkok didepan wanita itu.

"Yuki sayang. Kenapa sayang? Ya Allah.." Al memanggil Yuki dengan nada lembut.

Yuki masih tidak mau menatapnya. Dia masih menangis sampai tubuhnya berguncang. Wajahnya basah kena cucuran airmata.

"Jangan sentuh aku! Aku benci.. Aku benci sama kamu!!!" Yuki menjerit dengan suaranya yang serak dan nyaris menghilang.

Al semakin tidak tahan mendengar jeritan memilukan dari Yuki. Dengan segera ia memeluk tubuh Yuki yang masih bergetar. Al memeluknya erat, menciumi puncak kepala wanita itu sampai berkali-kali. Namun wanita itu terus meronta, berusaha melepaskan pelukan Al darinya. Dan melihat itu, Al semakin mempererat pelukannya. Tak membiarkan Yuki lepas dari dekapannya.

***

Sang PramugariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang