18

787 67 4
                                    

"We're going to divorce."

"Kamu mau ikut Papa atau Mami?"

"It's okay kalau kamu belum bisa putuskan sekarang."

"Betul. Lagipula mau tinggal sama siapapun ngga masalah, we're still your parents."

"Marshall? What's wrong?"

Suara milik orangtuanya yang terdengar macam kaset rusak membuat Marshall membuka matanya tiba-tiba. Rasanya seperti bangun dari sebuah mimpi. Namun Marshall tidak yakin dimana dirinya berada. Ada banyak orang mengelilinginya. Wajah mereka tertutup masker, kacamata, juga pakaian steril seperti yang biasa dia lihat di Grey's Anatomy.

Marshall ingin memanggil Mami. Namun suaranya tak dapat keluar. Sebagai gantinya justru kerongkongannya terasa sakit. Laki-laki itu tak dapat melihat apapun dari sini akibat orang-orang itu, juga lampu yang menyilaukan mata. Dimana Mami? Dimana Papa? Marshall takut, dia ingin melihat orangtuanya.

Saat orang-orang itu berangsur pergi, barulah Marshall dapat melihat kedua orangtuanya. Mereka berpelukan. Mami menangis di pelukan Papanya. Keduanya memakai pakaian steril macam orang-orang tadi, hanya saja mereka tak memakai kacamata. Mereka kemudian mendekati Marshall, langkahnya terlihat ragu.

Mami memilih duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang, sementara Papa duduk di bawah ranjangnya, sebelah kaki Marshall. Papa memijat kaki Marshall perlahan, sementara Mami mengelus pipinya. Papa tersenyum, nampak terpaksa.

Orangtuanya jelas baik-baik saja. Mereka tak akan bercerai. Mungkin tadi hanyalah mimpinya. Atau mungkin ini mimpinya? Marshall tak tahu, hanya ada satu cara untuk membuktikan. Kembali tidur. Lagipula dia juga sangat mengantuk.

*****

Saat bangun, Marshall masih ada di ruangan yang sama. Tubuhnya terasa lengket. Rasanya dia tak mandi selama seminggu. Kaki kirinya yang tidak tertutup selimut dipasangi gips tebal. Berikut tangan kirinya dibalut oleh kain kasa. Sepertinya tubuh bagian kiri Marshall terluka parah. Matanya pun terasa pegal.

Dia sama sekali tak ingat apa yang terjadi hingga membuatnya berakhir disini. Melihat dari luka-luka di tubuhnya, Marshall rasa dia telah mengalami kecelakaan parah. Laki-laki itu mencoba menggerakkan tubuhnya, namun gagal. Apakah dia....lumpuh? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Marshall baru saja terpilih sebagai tim inti baseball sekolahnya. Dia tidak boleh lumpuh.

Sekali lagi Marshall berusaha menggerakkan anggota tubuhnya. Mungkin dimulai dari yang sederhana, menggerakkan jarinya. Gagal. Dia berteriak frustasi, namun tak ada suara keluar dari mulutnya. Setelah dipikir, dia sama sekali tak melakukan apapun dengan tubuhnya, dia hanya membuka mata. Itu saja, tak lebih.

Pikiran-pikiran buruk memenuhi kepala Marshall, membuatnya diserang panik berlebih. Nafasnya jadi tak beraturan. Hal itu rupanya memicu salah satu mesin untuk berbunyi lebih nyaring. Lalu kemudian suara Mami terdengar. Rupanya wanita itu ada disamping Marshall selama ini.

"Marshall? Kamu bangun? Relax, okay. Mami panggilkan dokter."

Tangan Mami menekan salah satu tombol disana. Sembari menunggu dokter memasuki kamar, Mami berusaha untuk menenangkan Marshall dengan menepuk pelan dada laki-laki itu.

Mami masih ada disamping Marshall bahkan ketika dokter memeriksanya. Sepertinya dokter itu membiarkan Mami ada disana untuk mendampingi Marshall. Wanita itu tak melepaskan genggaman tangannya dari Marshall. Hal itu membuat Marshall sedikit merasa lebih tenang.

"Saturasi oksigen nya turun. Bukan masalah serius."

"Apakah ada pemicu khusus?"

"Bisa jadi iya. Bisa jadi tidak. Kami tidak dapat memutuskannya sebelum pemeriksaan menyeluruh dilakukan."

Unfinished StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang