Axelot Fanning melihatnya lagi. Ya, laki-laki di depannya itu. Axel perkirakan usianya masih berada di awal 20-an seperti dirinya. Kemungkinan besar mereka bahkan sebaya. Entahlah, Axel hanya berprasangka seperti itu.
Sulit untuk tak memandang pada laki-laki itu. Sepertinya bukan hanya Axel yang berpikir demikian. Ada setidaknya 5 orang di gym itu yang berhenti melakukan aktivitasnya karena laki-laki itu memasuki ruangan.
Bagaimana tidak menarik perhatian bila laki-laki itu datang dengan sebuah kursi roda besar. Axel belum pernah melihat kursi roda sejenis itu. Benda itu merupakan jenis kursi roda elektrik dengan controller yang berada di sebelah kanan.
Axel ragu laki-laki itu bisa menjalankannya secara mandiri. Kedua tangannya menempel di dada dengan jari-jari yang mengepal erat. Selain itu, dia juga tak bisa memandang ke depan.
Kepala bersandar pada headrest dengan posisi menoleh ke kanan. Lehernya terlihat kaku dan sulit digerakkan. Axel bahkan tak melihat laki-laki itu menggerakkan lehernya sedari tadi.
Mulut laki-laki itu terbuka lebar. Giginya bahkan dapat terlihat. Mulutnya senantiasa mengeluarkan air liur yang membasahi handuk di bawahnya. Dalam beberapa menit, laki-laki itu menjulurkan lidahnya, membuat air liur turun lebih banyak dan menghiasi dagunya.
Seseorang yang ada di belakangnya tidak mau repot menyeka liur itu. Dia membiarkannya hingga air liur tersebut jatuh membasahi leher hingga dada laki-laki itu. Mungkin dia jijik, karena Axel pun merasa demikian.
Leher laki-laki itu dilubangi untuk dimasuki sebuah tabung. Axel tak tahu apa namanya. Lalu kemudian dari situ sebuah selang besar mencuat. Selang itu tersambung dengan sebuah alat berbentuk kotak yang ada di belakang kursi roda laki-laki itu.
Bahu sebelah kanan laki-laki itu memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan yang kiri. Hampir menempel dengan dagunya. Kadang bahu itu bergerak naik dan turun sendiri diikuti gerutuan dari pemiliknya.
Tubuh laki-laki itu kemudian nampak kaku. Matanya melotot. Tangannya bergerak acak di depan dada, terlihat bergetar. Kaki kirinya yang tertekuk dan menimpa sebelah kanan, kemudian bergerak naik. Ada suara kerutan plastik saat kakinya bergerak-gerak.
Laki-laki itu tak mengenakan celana, hanya sebuah gaun rumah sakit. Jadi ketika kaki kanannya naik, Axel dapat melihat popok besar yang digunakan laki-laki itu. Mungkin suara kerutan plastik tadi berasal dari sana.
Kemudian sebuah suara yang tidak diduga keluar dari laki-laki itu, cukup mengagetkan Axel. Entah kenapa Axel jadi malu, dia kemudian mengalihkan pandangannya agar tidak melihat laki-laki itu. Seseorang di belakangnya membuat ekspresi jijik, kali ini Axel tak menduganya, dia tahu. Seseorang itu kemudian berdecak.
Rupanya mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu sangat sulit. Ada dorongan dari dalam diri Axel yang ingin terus melihatnya. Laki-laki itu menarik, sih. Dia pasti akan terlihat tampan bila tidak ada dalam kondisinya sekarang.
Dilihatnya kembali laki-laki itu. Tubuhnya kini sudah lebih relax. Kedua tangannya tak lagi bergetar. Ada saliva menghiasi dagunya, bagian itu terlihat basah. Kaki laki-laki itu masih berada di atas. Telapak kakinya bertumpu pada dudukan kursi roda.
Axel dapat melihat popok laki-laki itu menguning. Benda itu menggembung, terlihat sudah menampung kotoran dengan level maksimum. Axel tak yakin bila laki-laki itu kembali buang air, popoknya akan dapat menampung lagi.
Seseorang dibelakang laki-laki itu sepertinya berpikiran hal yang sama dengan Axel. Dia lalu pergi keluar dari gym, meninggalkan laki-laki itu diikuti sebuah lenguhan pelan.
“Uuuaaarrrggghhh”
“Hhhhhhh”
“Hhhrrrhhhh”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Stories
Short Storya brain dumps contains of one shot and few ⚠️TW/CW : sickmale, paralysis, graphic stories. Mention of disease and sickness.⚠️ [Random updates] rahma Copyright 2022