Peluh menghiasi wajah ayu milik Bernadita Stella Maris. Napasnya terengah. Tangannya mencengkeram sarung bantal, erat sekali seolah dia akan mati bila melepaskannya.
Diatasnya seorang pria berpenampilan sama berantakan. Rambut hitam legam miliknya sudah basah oleh keringat. Begitu pula tubuh atletisnya.
Rasanya seperti diterbangkan ke awan begitu Stella mencapai puncak orgasmenya. Kepalanya terasa ringan. Seakan dia betulan bisa terbang.
Sang pria kemudian menumpukan tubuhnya diatas milik Stella. Mereka berdua sama-sama terengah, lelah. Namun ada kepuasan tersendiri bagi keduanya setelah saling bercumbu dan menyatukan tubuh.
"Be mine." Pinta pria itu.
Ucapannya menggantung di udara. Karena alih-alih menjawab permintaan pria itu, Stella memilih untuk mengusap pelan rambutnya.
"Kak, be mine please." Pinta pria itu sekali lagi. Seperti hari-hari lainnya sehabis mereka bergumul di ranjang yang sama.
Stella menggelengkan kepalanya. Matanya menatap lekat sang pria. Menegaskan penolakannya. Walaupun wanita itu tahu, beberapa hari kemudian sang pria masih akan meminta hal yang sama padanya. Itu sudah terjadi sejak 10 tahun lalu.
"Aku bisa ceraikan istriku kalau memang Kakak tidak mau jadi yang kedua. Aku bisa tinggalkan semuanya, asalkan aku sama Kakak."
"No means no, Tandri. Aku sudah bilang itu berjuta-juta kali. Lagipula kamu bukan pria brengsek, dan aku tidak akan membiarkanmu menjadi salah satunya."
"Kak, I can't live without you."
Tandri mencegah Stella yang akan berdiri dengan memegang tangannya. Wanita itu memandangnya lembut, kemudian dengan perlahan dilepaskannya tangan sang pria.
"Aku akan mandi, setelah itu baru pulang. Kau juga sebaiknya bergegas, atau istrimu akan curiga nantinya."
*****
"Nnnmmmaa"
Stella terbangun akibat sebuah panggilan disertai rasa geli yang menggelitik di bagian perutnya. Ketika wanita 40 tahun itu membuka mata, didapatinya sang putra yang tersenyum lebar. Kepala laki-laki itu bertumpu pada perut Stella yang rata.
Sudah 18 tahun berlalu, tapi putranya masih sama. Selalu tersenyum lebar ketika pagi hari, membuat mood Stella menjadi lebih baik tiap bangun. Wanita itu memandang jam digital diatas nakas. Pukul 08:36.
Mereka bangun kesiangan, lagi. Tapi tak masalah, tidak ada kegiatan mendesak yang harus mereka hadiri hari ini. Eum, mungkin ada satu.
"Bolos lagi ya sekolahnya. Udah telat banget nih." Stella berkata sambil membelai rambut Kala, putranya.
"Nooouuhhh" Laki-laki itu berusaha protes. Dia membenamkan wajahnya di perut Stella kemudian menggigit perut perempuan itu yang sedikit terbuka.
"Okay, stop it. Mama geli." Stella tertawa. Hal itu membuat teriakan Kala makin keras. Kali ini kepalanya dia benturkan di perut sang Mama. "Kalandra Maris Kjellberg. Mama serius."
Baru ketika Stella berkata demikian, Kala berhenti membenturkan kepalanya dan memilih menenggelamkan wajahnya diantara selimut. Posisinya membelakangi Stella, tanda laki-laki itu marah pada Mamanya.
Dipeluknya tubuh kurus Kala dari belakang. Tidak begitu kecil, namun bila dibandingkan dengan remaja laki-laki seumurannya, tentu tubuh Kala lebih kecil daripada mereka.
Tangan laki-laki itu berusaha menepis pelukan sang Mama, namun karena keterbatasan gerakan, Kala tak berhasil melakukannya. Jadilah dekapan Stella melingkupinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Stories
Short Storya brain dumps contains of one shot and few ⚠️TW/CW : sickmale, paralysis, graphic stories. Mention of disease and sickness.⚠️ [Random updates] rahma Copyright 2022