"Kak. Kayin." Sebuah cubitan di pipi Arin membuat perempuan itu terbangun dari tidurnya. Diluar terlihat masih gelap, dia tidak terlambat bangun. Saat menoleh ke samping, Arin mendapati adiknya berdiri di sisi ranjang. Tangan kecilnya masih mencubit pipi Arin.
"Hm? Ayya kok jam segini udah bangun?" Arin bertanya pada adiknya sambil menegakkan tubuh. Jam digital di sisi ranjangnya menunjukkan pukul 02:15 dini hari. Masih terlalu pagi bagi Ayya untuk bangun.
Ayya menggerakkan tangan kecilnya, menyuruh Arin mendekat. Bocah itu kemudian berbisik lirih di telinga Arin. "Aku ngompol."
Arin buru-buru turun dari ranjangnya dan mengajak Ayya ke kamar mandi orangtuanya yang memiliki water heater. Sesampainya disana, Arin melepas seluruh pakaian adiknya. Bocah 5 tahun itu menurut saja pada kakaknya.
"Kakak udah bilang loh tadi, sebelum tidur pipis dulu. Kata Ayya udah pipis." Arin mengoceh sambil mengguyur tubuh adiknya dengan air hangat. Bocah laki-laki itu hanya menundukkan kepala, merasa bersalah.
"Abang basah juga berarti?" Tanya Arin yang diangguki oleh Ayya. "Nah kan, kalau gini kakak harus mandiin Abang juga."
Kepala Ayya makin tertunduk. Jari-jarinya bertaut. Wajahnya mulai memerah. Sebentar lagi bocah itu akan menangis. "Maaf."
"Udah, jangan nangis. Besok-besok nurut apa kata kakak, ya. Ayya anak baik kan?" Bocah laki-laki itu mengangguk kecil. Arin kemudian mengecup singkat kening adiknya itu. Ayya kemudian digiring ke kamar orangtua mereka. Arin memakaikannya pakaian dalam dan piyama. Setelah itu Ayya dibiarkan tidur di kamar orangtua mereka.
"Ayya tidur duluan, ya. Nanti pagi masih harus sekolah. Kakak ke kamar Abang dulu." Arin berkata sambil menyelimuti adiknya.
"Kakak nanti tidur sini." Pinta bocah itu sebelum memejamkan mata. Arin mengangguk.
Arin kemudian menuju ke ruangan yang terletak persis di depan kamar orangtuanya, tempat Ayya tidur tadi sekaligus kamar adiknya yang lain, Alta. Cahaya kekuningan dari lampu tidur masih menerangi ruangan itu. Jelas sekali Ayya tadi buru-buru menghampirinya begitu sadar dirinya mengompol. Arin lalu memencet saklar yang ada di dekat pintu.
Alta masih tertidur, sama sekali tidak terganggu dengan huru-hara yang dibuat Ayya dan Arin. Perempuan itu mendekati ranjang adiknya. Ada bekas macam tumpahan air di tempat yang tadi ditiduri Atha. Beruntung kasur Alta dilapisi oleh semacam kulit sintetis, sehingga air kencing milik Ayya tidak merembes membasahi kasur.
Sayangnya, rembesan air itu justru mengenai selimut yang dikenakan Alta. Arin buru-buru menyingkirkannya. Rembesan itu hampir saja mengenai pakaian milik Alta jika tidak terserap lebih dulu oleh underpad yang ada di bawah punggung hingga paha laki-laki itu.
Arin mengecek seluruh tubuh adiknya. Tidak ada yang basah. Dia kemudian menghembuskan napas lega. Itu berarti Arin tak harus memandikan Alta pada dini hari.
Dengan hati-hati, Arin meletakkan tangan kanannya dibawah leher sang adik. Sementara tangan kirinya berada dibawah lutut Alta. Perlahan dia mengangkat tubuh adiknya itu.
Beruntung Alta bukan tipe light-sleeper. Jadi dia tidak terbangun saat Arin mencoba memindahkan tubuhnya. Alta ditidurkan di sebelah Atha. Bocah itu rupanya belum terlelap.
"Kita tidur bertiga?" Tanya Ayya saat Arin menyelimuti mereka berdua.
"Iya. Kasurnya Abang basah, kan. Diompolin Ayya tadi." Bocah itu hanya tertawa canggung ketika Arin berkata demikian.
Arin kembali menuju kamar milik Alta untuk melepas seprai yang basah. Perempuan itu menguceknya bersama dengan baju milik Ayya yang tadi terkena rembesan air kencing. Dia kemudian meletakkannya di ember untuk kembali dicuci esok pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Stories
Short Storya brain dumps contains of one shot and few ⚠️TW/CW : sickmale, paralysis, graphic stories. Mention of disease and sickness.⚠️ [Random updates] rahma Copyright 2022