Part 11

272 25 2
                                    

Nami rasa, rasa sakitnya benar benar baru terasa sekarang. Rasa yang tak terbalaskan itu, rasanya begini ya. Kayak, hampa, sedih, pilu, begitu.

Mau sekuat tenaga untuk menerimanya, tapi Nami nggak punya kekuatan itu. Nami nggak sekuat apa yang dibayangkan.

Seandainya Nami nggak bersekolah, Nami akan memilih di rumah dan meratapi nasibnya. Matanya sudah bengkak sejak semalam. Sembab. Kondisi Nami cukup memprihatinkan sampai Ayah mengantar Nami ke sekolah dan memastikan Nami tiba di kelas dalam keadaan baik-baik saja.

Hal itu juga dirasakan Zoya saat Nami tiba di kelas. Kondisi gadis itu jauh dari kata baik. Nami sangat lesu. Bahkan Nami mampu diam seribu bahasa seharian ini padahal Nami suka cerewet membahas sang pujaan hati.

Kalimat terakhir mengingatkan Zoya akan percakapan mereka terakhir di mana Nami berniat untuk mengungkapkan perasaannya terhadap Mika.

Jika Nami seperti ini, apakah?

"Mau cerita lagi sama aku?" Baru itu yang bisa Zoya tanyakan. Nami benar benar seperti patung di samping Zoya. Tak ada raut binaran yang biasa Nami bagikan padanya.

Cukup lama Nami terdiam ia menoleh, menatap Zoya dengan mata bergetar. Air mata muncul dan terjatuh. Nami menangis tanpa suara.

Zoya buru-buru menarik Nami ke dalam pelukannya. Mencoba untuk menyalurkan ketenangan meski itu percuma.

"Aku.. sudah mengatakannya.."

Zoya menarik diri, menatap lamat sahabatnya. Mencari celah atas pertanyaan yang mencuat di kepala.

"Kamu bisa mengatakannya pelan pelan."

Air mata Nami terjatuh lagi. Rasa panas dan perih memenuhi pelupuk mata Nami. Gumaman Nami bergetar mengatakan kepiluannya.

"Kak Mika.. cuma anggap aku.. adik.."

Zoya kembali menarik Nami ke dalam pelukan. Membebaskan Nami membagi kesedihannya karena Zoya ingin. Zoya ingin merasakan kesedihan Nami. Zoya ingin Nami membagikannya tanpa membatasi.

Membiarkan pundaknya menjadi penopang Nami menumpahkan seluruh emosinya.

*****

Mika menatap jendela. Tatapannya bergetar menunggu seseorang di sebrang sana. Berharap gadis kecil itu muncul, lalu senantiasanya menyapanya hangat dengan senyum paling menawan yang pernah Mika pandang.

Membayangkannya membuat hati Mika tergores. Ini sudah hampir seminggu Nami tak melakukan hal tersebut. Sejak mereka saling mengungkapkan perasaan mereka, Mika hanya melihat Nami tersenyum. Kemudian gadis kecil itu beranjak pergi, melambai tangan dan kembali ke rumahnya tanpa meninggalkan kata-kata.

Berharap saat itu Nami nggak akan lagi menjauh, berharap bahwa mereka akan kembali ke sedia kala.

Tapi hal itu tidak terjadi. Justru, Nami semakin jauh.

Tidak. Nami nggak menjauh. Mika menolak itu.

Buktinya belum lama ini Mika masih mengajari Nami. Mereka masih duduk bersama dan membahas soal rumit lalu Mika dengan senang hati menjelaskannya. Memastikan gadis kecil itu mengerti maksudnya. Memastikan gadis kecil itu menjawab soal dengan mudah.

Mika masih bisa melihat Nami tersenyum. Mika masih bisa mengelus lembut puncak kepala Nami. Mika masih bisa membagikan potongan mangganya pada Nami.

Mika masih bisa menonton televisi bersama Nami sambil melahap popcorn. Dan Mika masih bisa melihat Nami tertawa, bahkan mereka tertawa bersama.

Gadis kecilnya nggak menjauh.

Tapi..

Ketika Mika menyapanya sebelum berangkat kerja, Nami hanya tersenyum dan berlalu.

Ketika Mika memanggil Nami pada saat Nami pulang sekolah, Nami juga hanya tersenyum dan berlalu.

Ketika Mika menghampirinya, menyapanya dan memberikan senyuman terbaiknya.

Nami hanya menatapnya, dan berlalu.

Senyum Mika terbit ketika gadis kecil yang ia tunggu membuka jendela kamarnya, Mika menyugarkan rambutnya sejenak sebelum memanggil Nami. Senyumnya begitu merekah hanya untuk ia berikan pada Nami.

Gadis kecil itu hanya menatapnya, tersenyum sekenanya, kemudian berlalu.

Tanpa tahu bahwa sekarang Mika terpaku seorang diri.

Tanpa tahu bahwa sekarang Mika kebingungan.

Tanpa tahu bahwa sekarang Mika merosot jatuh dengan hati penuh kekesalan terhadap dirinya.

"Kalau Nami nggak menjauh, minimal Nami jaga jarak. Kau harus tau itu."

Ternyata omongan Gio tempo lalu benar.

*****

Nami menutup buku novel romansa dengan wajah datar. Akhirnya Nami menyelesaikan membacanya hari ini dengan akhir bahagia dari kisah cinta tokoh utama.

Nami pikir menyelesaikan buku novel yang telah lama Nami pinjam akan memgurangi emosi yang masih melatup-latup. Tapi pada akhirnya Nami mengembalikan buku itu dengan perasaan dongkol.

Berharap seandainya kisah cinta Nami berakhir seperti karangan novel tersebut.

Mungkin Nami nggak perlu harus merasakan sakit terlalu lama seperti sekarang ini.

Nami melirik jam di pergelangan tangannya, baru sadar kalau Nami sudah cukup lama menghabiskan waktu membaca di perpustakaan. Segera Nami bergegas pulang sebelum Ibu mencarinya.

Ketika Nami sampai di gerbang sekolah, Ian--salah satu teman sekelas Nami menghampirinya.

"Nami masih di sini?" Ian dengan sepeda motornya berhenti di hadapan Nami. Helmnya sudah tersangkut di kepala. Hendak mengendarai motor sebelum Ian bertemu Nami.

"Oh, Ian, iya, mau pulang ini." Jawab Nami sekenanya sambil mencari ojek online di ponsel.

Ian melihat ponsel Nami memesan ojek.

"Mau nebeng sama aku aja? Ojol lagi eror katanya. Susah dipesan. Dari pada kamu kelamaan nunggu mending aku antar kamu pulang."

Ian benar, Nami nggak berhasil mendapat ojek online satupun sedari tadi. Dan aplikasinya sekarang susah diakses.

Mendengar tawaran Ian dan hari semakin sore, Nami langsung mengiyakan saja.

Ian mempersilakan Nami duduk di jok belakang. Setelah Nami sudah siap Ian mengendarai motor menuju rumah Nami.

Tak banyak percakapan terjadi selama di perjalanan, Nami dan Ian hanya sesekali tertawa melawan bisingan ruas jalan hingga mereka tiba di rumah Nami.

Mika yang baru saja tiba di rumah melihat Nami pulang bersama seorang pemuda asing yang baru Mika lihat.

"Nami.."

Nami menoleh, termangu melihat Mika menyapa hangat seperti biasanya.

Hendak ingin membalas, Nami teringat dengan tujuan barunya sekarang. Zoya yang membuat tujuan tersebut dan Nami harus melakukannya.

Jadi sekarang Nami balas sapaan pria dewasa itu dengan seulas senyum, lalu berpaling dan tak lupa mengucapkan terima kasihnya pada Ian yang telah mengantarkannya pulang.

Sementara Mika, ia hanya bisa terpaku menatap Nami melambaikan tangan pada pemuda asing itu dan berlalu meninggalkan Mika seorang diri.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang