Part 32

201 19 4
                                    

"Bisa pulang ke rumah besok Nak?"

"Ada apa, Bu?"

"Maaf kalau Ibu kasih taunya dadakan, tapi Ibu ingin kamu besok udah pulang ya. Sabtu besok ada acara di rumah dan kamu harus datang."

"....."

"Kakakmu mau tunangan. Jadi kamu harus datang ya."

*****

Selama di perjalanan di salah satu gerbong kereta, Nami tenggelam dalam pikirannya sendiri—ia merasa merana. Ia bahkan bingung harus mengalihkan pikirannya selain memikirkan bagaimana caranya Nami tiba dan menyaksikan kakaknya yang sebentar lagi akan bertunangan dengan seseorang yang cukup lama Nami kenal dan Nami tinggalkan.

Jadi mereka sudah bahagia ya?

Aku harus gimana ya nanti?

Hai, kakak, apa kabar? Sehat ya kalian?

Iya, maaf, aku baru bisa pulang..

Aku senang kakak bertunangan..

Senang, benarkah demikian? Nami menggali keraguan itu, mencari kata baik-baik saja dalam dirinya tapi ia tidak temukan kata itu.

Nami tidak baik-baik saja sejak sang Ibu menyebut acara pertunangan itu.

Bahkan jauh sebelumnya—sejak Nami meninggalkan Mika.

Tak banyak bayangan yang Nami raba, rasanya sesak hanya membayangkan acara pertunangan itu akan diadakan lusa. Dan sesak itu membelenggunya. Menyesakkan sekali.

Musik tak mampu sepenuhnya meredam rasa itu. Jadi Nami memandangi pemandangan desa, kota dan hamparan sawah di sisi kereta. Suara berisik dari mesin kereta juga tak mampu mengganggu bayangan itu.

Nami kini merasa sakit, dan sebentar lagi ia tidak akan berdaya.

Nami berharap setelah acara itu Nami masih bisa menghirup aroma segar dunia.

Delapan jam perjalanan di kereta memang sangat melelahkan. Nami menggerek kopernya keluar gedung stasiun dan melihat adanya Ayah sudah menunggunya di dekat pintu keluar.

"Lelah ya Nak?" Ayah menyapanya sambil memeluknya sejenak. Sejak pertemuan memyakitkan itu, Ayah juga tampak berusaha mendekatkan diri dengan Nami. Hampir setiap hari Ayah akan memberi Nami pesan, menanyakan kabar atau menjelaskan tentang kondisi Ayah yang baik-baik saja di sini atau Ayah merindukannya.

"Nanti pas di mobil kamu tidur aja. Ayah juga beliin susu coklat tadi, bisa kamu minum pas di mobil."

Nami tak banyak bicara. Ia sungguh lelah—lelah dengan perjalanan dan lelah membayangkan bagaimana nasibnya setelah menginjakkan kaki ke rumah lagi.

Tapi Nami tak bisa berpikir demikian—acara pertunangan bagaikan sebuah peperangan batin yang wajib dilakukan—itu adalah acara baik, momen terpenting untuk Nadia dan keluarga.

Jadi Nami meminum susu coklatnya dan tertidur di dalam mobil. Ayah tentram mengendarai mobil sambil mendengarkan suara radio yang menjelaskan berita terkini untuk hari.

Sesampainya di rumah, Nami meneliti sekitar. Tak ada yang berubah di sini. Hanya tanaman Ibu semakin banyak memenuhi pekarangan rumah. Warna temboknya juga diganti, terlihat lebih segar dan bersih.

Dan rumah tetangga pun demikian. Warna temboknya belum berubah seperti sebelumnya, hanya saja warnanya lebih menyala dan bersih. Mungkin belum lama ini warnanya sudah ditimpa ulang.

Suasana memang masih sama seperti sebelumnya, sama seperti hati Nami yang masih kelabu.

Ibu muncul dari pintu dan membawa Nami ke dalam pelukannya. Sudah lama sekali mereka tak bertemu sejak Nami memutuskan melarikan diri ke Jogja.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang