Part 35

568 18 3
                                    

Benar apa yang dikatakan orang-orang di kendaraan umum tadi perihal cuaca hari ini. Di televisi yang Nami tonton sebelumnya sebelum berangkat bekerja, anchor bilang kalau hari ini Jogja akan cerah.

Tapi sekarang Nami terjebak di halte karena hujan turun sangat lebat. Nami bingung kenapa orang-orang di kendaraan umum itu lebih benar memprediksi cuaca ketimbang anchor tadi? 

Derasnya hujan saat ini cukup berhasil menguyp kepala Nami disaat Nami memutuskan untuk menerjang hujan yang sudah lama ia tunggu hampir lima belas menit. Nami tidak bisa menunggu di halte lebih lama lagi lagi, ia harus pergi bekerja. Ia butuh uang lebih banyak untuk memperlancar bahan skripsinya dan bahan untuk karya pratikum yang sudah hampir rampung.

Lonceng berbunyi nyaring ketika Nami mendorong pintu kafe yang belum berpenghuni pelanggan. Karena hujan, hal itu menjadi salah satu alasan kenapa kafe minimalis ini masih sepi.

Sudah dua bulan Nami menjadi barista di sini. Ia memilih pindah karena penghasilan di kafe di sini sedikit lebih besar. Walau tidak banyak tapi Nami butuh sedikit perkembangan juga dalam pemasukan. Berkat kebaikan mantan atasannya dulu menawarkan pekerjaan sebagai barista di sini, ya di sini lah Nami berada.

Kini Nami sibuk mengeringkan rambutnya setelah memasuki ruangan pekerja. Mengganti pakaiannya ke seragam karyawan lalu menggantikan rekannya untuk menyediakan pastry di etalase.

Hujan berhenti sejam kemudian. Langit cerah mengisi bumi dan satu persatu pelanggan datang. Nami melayani pelanggan sepenuh hati—seperti slogan kafe yang dibuat. Lalu ia mengisi pastry baru ke etalase, hari ini banyak pelanggan membeli pastry.

Waktu terus berjalan, banyak Langkah yang telah Nami tempu selama ini. Dan bekerja di kafe adalah langkah yang cukup menyenangkan setelah ia terbangun dari gelapnya kepiluan.

Jika dibayangkan kembali setelah acara pertunangan Nadia dan Angga, Nami tak banyak bicara lagi dengan Nadia. Mereka seakan semakin meninggikan pembatas dan mempertebal jarak diantara keduanya. Entah ada apa dan kenapa sampai Nami harus merasakan hal ini terhadap kakaknya? Merasa aneh yang seharusnya kakak beradik itu selalu merasa dekat, tapi apa daya. Pada akhirnya Nami tidak bisa melakukan hal lebih lagi untuk memperbaiki hubungan mereka.

Bukan berniat untuk membuatnya semakin menjauh. Tapi Nami pikir dengan benteng yang dibuat oleh mereka berdua itu mungkin akan menjadi keputusan terbaik untuk sementara ini. Baik Ayah dan Ibu juga tidak mau memperkeruh suasana. Dari awal hubungan mereka sudah rusak, dan mungkin biarkan waktu yang dapat memperbaiki mereka.

Membicarakan waktu, hal itu juga berdampak ke seseorang yang baru saja memasuki kafe. Ia datang dengan setangkai mawar merah lalu melangkah sebuah meja dan kursi—yang menjadi tempat favorit orang itu ketika ia datang untuk menikmati suasana. Atau sosok indah yang selaku menjadi daya tariknya untuk datang ke sini.

Masih menggunakan kemeja kerjanya yang lengannya digulung sampai siku, rambut klimis karena gel rambut sudah tak tertata rapi--ia biarkan berantakan sesuka rambutnya. Ia datang dan tersenyum ketika para pegawai kafe menyapanya hangat sesuai SOP.

Nami maju mendatanginya dengan alat tulis di tangan.

"Aku pesan menu biasa ya." Ucap Mika sambil tersenyum. Senyumnya merekah sampai matanya menyipit malu-malu.

Nami ikut tersipu memandangi senyum indah itu. Sejak Mika memutuskan untuk tinggal di Jogja—setelah mendapat tawaran mutasi ke daerah dan Mika meminta daerah Jogja, Mika akan selalu berupaya untuk menyisihkan waktu untuk datang ke kafe. Biasanya ia akan datang setelah pekerjaannya selesai. Ia selalu datang dan memesan ice aren latte sebagai teman disaat ia sedang memandangi betapa indahnya Nami di matanya sampai shift Nami selesai.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang