Part 30

203 19 1
                                    

Setelah sekian lama Nami merenung, berpikir matang-matang dan memahami konsekuensi apa yang aka ia dapatkan nanti, Nami memutuskan untuk menemui kakaknya. Baginya ia harus menemui lebih dulu. Bukan karena ia merasa bersalah—walau kata hati kecilnya mengatakan demikian.

Keputusannya juga sudah Nami bicarakan sama Mika. Awalnya Mika bingung, tidak menemukan jalan atau titik terang atas tindakan Nami yang ingin menemui Nadia lebih dulu.

"Aku temani kalau gitu," tawar Mika setelah mendengar keinginan Nami. Meski tak menemukan titik terang, Mika tak berniat menghambat keinginan gadis kecilnya. Mika mencoba memercayai Nami, namun ia menawarkan diri untuk ikut agar sesuatu yang tak diinginkan dapat diatasi.

"Kakak nggak perlu ikut. Aku mau coba ketemu sama kak Nanad sendirian. Takutnya kalau ada kakak malah aku bikin suasana semakin canggung dan nanti kak Nanad nggak mau ketemu aku." Tolak Nami setelah mempertimbangkan jika Mika ikut bersamanya. Mungkin berbicara dengan sesama perempuan tanpa harus ada orang lain akan dimudahkan. Meski Nami tidak yakin juga.

"Aku khawatir tapi. Takut ada sesuatu yang aku tidak inginkan malah terjadi sama kamu. Aku takut Nadia malah berbuat nekat." Mika menjelaskan kegelisahan. Nami paham itu.

"Kakak nggak usah khawatir, aku kan cuma ketemu kak Nanad. Kak Nanad nggak akan mungkin kayak gitu." Ujar Nami memenangkan.

"Kalau gitu kamu jangan pergi sendirian juga."

"Aku harus pergi tanpa kakak. Kakak percaya nggak sama aku kan kalau aku bisa selesaikan masalah ini?"

Mika terdiam cukup lama sampai ia akhirnya mengangguk, "aku percaya kamu. Lakukan yang terbaik."

Setelah Mika memyampaikan pendapatnya, Nami memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya pada Ayah dan Ibu. Ketika mereka makan bersama di ruang makan, Nami langsung mengutarakan keinginannya.

"Aku mau ketemu kak Nanad di kosannya."

Mendengar itu Ayah yang lebih dulu menyela, "mau ngapain?"

"Mau ketemu, mau ngobrol, mau lurusin masalah. Aku rencana mau ke sana besok."

"Nadia lagi sibuk, nggak usah temui dia. Kalau kamu datang yang ada malah nambah masalah." Ketus Ayah sambil kembali menyantap makan malamnya. Sementara Ibu semakin iba menatap Nami. Hubungan keluarga mereka menjadi renggang karena hubungan Nami dan Mika.

"Justru Nami mau ketemu kak Nanad biar bisa kurangi masalah kak Nanad. Ayah pikir Nami nggak kepikiran—bertengkar terus sama kak Nanad kayak gini? Ayah pikir Nami baik-baik aja seperti ini?"

"Kamu kan yang lebih dulu membuat masalah. Gara-gara kamu, Nadia jadi nggak mau pulang. Jadi jangan rusak lagi suasana hati kakakmu kalau kamu memang peduli."

"Ayah pikir aku tidak peduli sama kakak selama ini?" Nami tak lagi melanjutkan makan malamnya. Matanya memanas, ia ingin menangis, tapi sekuat tenaga Nami tahan. Untuk sekarang menangis bukanlah jalan keluar untuk membalas ocehan pedas sang Ayah.

"Kalau kamu peduli, kamu nggak akan cari masalah. Bikin nggak selera makan saja."

Ayah membanting alat makan ke meja lalu bangkit meninggalkan ruang makan.

"Sebenarnya, aku ini bukan anak Ayah ya sampai aku diginiin sama Ayah?"

Ayah menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap Nami yang masih setia duduk di sana.

"Nami.." tutur Ibu sendu.

"Dari kecil Ayah selalu menatapku seperti anak yang tak patut disandingkan sama kak Nanad. Aku lihat Ayah selalu menganggap kak Nanad adalah bagian besar dari dunia Ayah. Tapi aku merasa bahwa aku cuma sebagian kecil yang tak berarti di hidup Ayah."

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang