Siang sudah menampak dan terik, namun hal tersebut tidak mengganggu Nami untuk meluapkan semua rasa yang bercampur dan hidup selama beberapa hari untuknya.
"Tolong pergi," Nami tak tahan lagi untuk tidak menangis. Pertahanannya runtuh, begitupun kesabaran yang ia susah payah bangun sedemikian rupa. "Aku harap ini terakhir kali kita membahas kita. Aku siap lepasin kakak dan menerima kakak sebagai keluarga. Pesan ku cuma satu, tolong bahagiain kak Nanad. Bagaimana pun kak Nanad adalah bagian terpenting dalam hidup ku."
Nami menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menumpahkan rasa sedih yang sudah lama membelenggu. Nami tidak mau menyimpan kesesakkan lagi. Nami lelah, dan Nami akan mencoba untuk menurunkan egonya dan menerima semua takdir yang jatuh dan mutlak untuknya.
Sekarang Mika adalah masa lalu yang berubah menjadi salah satu orang yang akan berpengaruh dalam hidup Nami di sisa sisa hidup yang akan ia jalani.
Mika masih bergeming. Diam menatap Nami yang menangis dengan segala pemikiran dan rasa yang mengumpul dan penuh di kepalanya. Mika tahu maksud Nami, tapi Mika belum berniat memotong atau menyela apa yang ingin Nami sampaikan padanya.
"Kakak pergi aja sendiri. Aku nggak bisa menyaksikan pertunangan kakak sama kak Nanad. Aku mohon, aku cuma butuh waktu aja. Aku nggak tau apakah aku akan lama atau sebentar dalam merana seperti ini, tapi kasih aku kesempatan untuk menyembuhkan diriku dengan caraku sendiri. Setelah itu aku janji, aku kembali dengan Nami yang baru. Aku akan kembali dengan Nami yang sudah berdamai sama masa lalu—tentang kita dalam semua hal. Kakak nggak perlu khawatir."
Nami masih menangis, tapi tidak sesedih sebelumnya. Suara tangisannya memelan, perlahan ia menghapus jejak air matanya sendiri, lalu mencoba menetralisasi sesegukan yang terasa menyesakkan.
Mika masih bergeming, diam mengamati bagaimana Nami mengendalikan emosinya seorang diri. Bergemingnya Mika bukan berarti ia tak ingin melakukan apapun, tapi nalarnya memerangi gejolak Mika untuk segera merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Setelah Nami merasa sedikit lebih tenang, Nami memberanikan diri untuk menatap Mika.
"Aku ikhlas kakak sama kak Nanad, jadi berbahagialah—"
"Are you sure I'll be happy if I'm not with you?"
Nami berhenti bicara dan tepekur.
"Are you sure you said me that padahal kenyataannya nggak seperti yang kamu pikirkan tadi?"
Panas matahari menghantam kebingunan Nami—merasa janggal kenapa Mika bisa berkata demikian?
"Kamu pikir aku harus kembali ke rumah mu dan melakukan pertunangan yang bukan aku lakukan? It's annoying."
Mika tiba-tiba tertawa sementara Nami mengernyit dahi, semakin kebingungan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
"Kalau kamu bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi, aku bisa jawab," Mika seperti cenayang yang tahu kebingunan Nami saat ini.
"Aku yakin kamu nggak akan terima semua ini setelah aku menjelaskan," Mika mendekat lagi, ingin menyentuh gadis kecilnya tapi Mika ragu. Ia takut perbuatannya nanti ditolak mentah-mentah oleh Nami.
Atau bahkan ini akan menjadi pertemuan mereka untuk terakhir kalinya.
"Say it, tell me?" Nami menuntutnya kali ini. Tak ada keraguan untuk menunggu walau ada percikan ketakutan menggerayangi.
"Aku bukan tunangannya Nadia."
Pernyataan itu seakan dapat menghentikan waktu beberapa saat. Nami pikir ia salah dengar sampai Mika mengulang pernyataan itu hingga Nami tertampar fakta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheese Roll
Short StoryBagaimana perasaanmu jika seseorang yang kamu sukai adalah tetangga rumahmu sekaligus guru privatmu? ***** Sequel kedua dari Teman Kakakku. Bisa dibaca terpisah. Copyright by Octaviandri23