Part 16

285 27 0
                                    

Nami memutuskan untuk menyendiri di taman kota. Duduk di dekat air mancur adalah tempat kesukaan Nami kalau menyempatkan datang ke sini. Air mancur mampu menutupi tangisan Nami.

Hati Nami kini sangat sedih, sampai Nami bisa merasakan sendiri kalau hatinya begitu remuk di dalam rongga dadanya. Melihat Mika pergi bersama perempuan lain membuat hatinya perih, walau ada Gio bersama mereka tapi tetap saja hatinya kacau balau.

Terutama senyuman Mika tertuju untuk perempuan tersebut. Senyumannya yang begitu manis dan selalu membuat Nami meleleh kini harus berbagi pada perempuan lain.

Atau memang senyumannya bukan untuk Nami seorang.

Nami terkekeh pahit membayangkan hanya dirinya yang dianggap spesial padahal kenyataannya Mika tak menganggapnya demikian.

Ironis.

Setelah air matanya mulai mengering, Nami melamun menatap air mancur. Mengingat-ngingat betapa indahnya momen kebersamaannya dengan Mika.

Nami teringat lagi bagaimana awal pertemuannya dengan Mika. Pada saat itu ada Nadia—Kakak Nami yang menemani Nami pada saat mereka berkenalan. Nami ingat betapa malu dan segan dirinya terhadap pria itu, sampai akhirnya Nami jatuh hati padanya.

Nami juga teringat ketika Nadia meledakkan amarahnya karena Nami masih belum paham dengan materi yang sudah dijelaskan Nadia, Mika langsung memotong dan membantu Nami menjabarkan dengan versi pria itu. Mika menjelaskannya dengan pelan-pelan, hati-hati, memastikan bahwa Nami mengikuti arahan dan penjelasannya dengan baik sampai Nami berhasil memahami.

Selain belajar bersama, Mika membuka pikiran Nami untuk terus percaya bahwa Nami bisa meluluhkan hati Mika. Banyaknya interaksi mereka berdua, Nami terus berharap bahwa kisah Nami dan Mika berakhir indah seperti dunia dongeng.

Tapi nyatanya, berakhir indah itu memang cuma ada di dunia dongeng.

"Nami, bukan?" Nami mendongak, terkejut melihat ada Ian sudah berdiri di sampingnya.

"Nami ngapain di sini?" Ian tersenyum, lalu ia duduk di samping Nami tanpa persetujuan apapun. Nami langsung gelagapan dan buru-buru menghapus sisa air matanya yang sudah banyak mengering di pipi.

"Sendirian aja?" Ia mengitari sekitar mereka. Mencari seseorang yang dikenalnya atau dekat dengan mereka. Lalu Ian menatap Nami lekat, "Nami abis nangis?"

Nami langsung menggeleng keras, tapi bengkak di matanya tidak bisa berbohong. Namun Ian tak menanyakannya lagi.

"Aku juga suka nangis di sini," mereka terdiam sejenak. Air mancur di depan mereka menghiasi pemandangan. Ditambah semburat sore di langit menambah kesan menenangkan dan sejuk.

"Kalau lagi sedih banget aku suka datang ke sini. Lihat air mancur aja sambil nangis tuh kayak plong, padahal aku cuma diam aja sambil nonton air mancur. Enak aja mandanginnya. Kalau udah puas baru pulang. Tapi terkadang aku suka teriak juga sih di sini kalau bensr-benar kesal. Tapi pernah aku sekali teriak-teriak di depan air mancur malah aku dibawa sama petugas. Katanya aku dianggap orang gila. Habis itu aku nggak teriak-teriak lagi. Kapok aku." Ujar Ian panjang lebar cukup berhasil membuat Nami terkekeh.

"Nggak pas lagi sedih aja, aku suka ke sini kalau aku lagi bosan di rumah. Di sini banyak komunitas berkumpul pas di akhir pekan, lho. Kayak komunitas skate board, band, ada juga yang buka tenda lukis gratis gitu. Kadang ada juga emak-emak datang buat senam dan karaoke."

Nami semakin tertawa mendengar Ian dan membayangkan semua itu berkumpul menjadi satu di taman ini, "wah, seru banget dong ya."

Ian sumringah, "iya. Bisa hampir seharian aku duduk-duduk di sini." Lalu Ia melihat ada penjual balon di dekat air mancur.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang