Setelah membersihkan diri, Nathan mempersilakan Mika ke ruangan kerjanya. Masih menggunakan bathrobe, Nathan menyiapkan gelas dan membuka tutup botol wine kemudian ia tuangkan ke masing-masing gelas.
Sebelum meminumnya, Mika menggoyangkan gelas tersebut. Mengamati bagaimana wine bergerak lincah di permukaan gelas lalu Mika menyesapnya secara perlahan.
Nathan juga melakukan hal yang sama terhadap minumannya.
"Jadi, ada apa dengan lo sama Nami?"
Nathan langsung ke inti pembahasan. Semakin tua, Nathan tidak suka basa-basi. Itu terlihat dari rambut yang sudah memutih itu.
Sampai saat ini pria tersebut tak berminat merubah warna rambutnya. Kata Lyana, justru Nathan semakin tampan dengan perubahan warna rambutnya. Tampak berkharisma katanya. Beruntung Nathan sering berolahraga dan menjaga pola makanannya sehingga tak banyak keriput di wajah serta ototnya tak banyak mengendur.
"Nggak ada apa-apa. Biasa aja." Jawab Mika sekenanya. Terdengar lugas, tapi rautnya tak menunjukkan kelugasan. Nathan mengamati kondisi Mika.
"Berarti lo sama Nami nggak ada masalah?"
Mika terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu.." Nathan menyesap minumannya lagi, "jadi kapan lo married?"
"Pertanyaan orang tua." Mika mendengus. Tak disangka kakak iparnya menodong pertanyaan macam itu.
"Gue memang udah tua, El." Akui Nathan dengan bangga.
Nathan memanggilnya El, itu tandanya Mika bisa leluasa dengannya. Nathan melakukannya karena Mika persis seperti mendiang Elkana. Terkadang Nathan suka kesal karena tiba-tiba merindukan kakak sekaligus mertuanya itu. Dan melihat Mika sekarang membuat Nathan memutar kembali semua momennya dengan El. Hanya saja Mika lebih kalem, tidak kayak El.
"Bentar lagi lo kepala 3. Nggak ada niatan buat seriusin anak orang gitu?"
Mika terdiam lagi menatap Nathan, "belum ada."
"Lagi nunggu seseorang kah?"
Mika bergumam, "tidak juga."
"Jadi apa yang buat lo menjauh dari Bekasi dan kabur ke Bandung?"
Mika terdiam lagi dan Nathan lebih mengamati Mika dengan seksama.
"Nami suka gue." Akhirnya Mika menceritakannya. Lalu ia meminum wine lagi. Menyebut nama Nami membuatnya berdebar tapi sendu. Cara Nami ketika membentak dan mengusirnya kembali terlintas di kepalanya dan mengingat hal itu membuat dada Mika kembali sesak.
Berharap dengan minum wine dapat meminimalisir rasa tersebut.
"Lalu?"
"Gue... tolak."
"Dengan alasan?"
"Dia nggak ada rasa sama gue sebenarnya, dia cuma kagum sama gue, kak." Mika meletakkan gelasnya ke meja, menghembuskan napas sejenak sebab dadanya mendadak tertekan sesuatu tak kasat mata.
"Lo yakin?"
"Iya."
"Kenapa lo merasa demikian?"
"Dia lagi masa puber, lagi senang-senangnya menggali sesuatu hal yang baru. Termasuk tentang perasaan yang dirasakannya sekarang. Aku yakin Nami masih meraba-raba perasaan itu dan dia langsung menganggap bahwa dia cinta aku."
"Kenapa lo malah berpikir seperti itu?" Nathan justu dibuat bingung sama penjelasan Mika.
"Gue..." bahkan Mika pun mulai bingung menjelaskannya, "gue mencoba menyadarkannya kalau selama ini dia salah paham sama perasaannya. Gue mengingatkan itu. Gue nggak mau dia menyesal."
"Apa yang buat lo nggak yakin sama perasaan Nami?"
"Gue bilang dia masih puber," Mika mengulang jawaban pertama, "dia masih meraba-raba perasaannya apa dia beneran suka sama gue atau ternyata dia cuma kagum sama gue."
"Dan lo katakan alasan lo itu ke Nami?"
"Iya."
Nathan tercengang. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Mika yang jauh dari kata tak terduga. Tidak menyangka jalan pikirannya bakal lebih jauh lagi dari Lyana.
Nathan menunduk dan memegang kepalanya yang mendadak pening.
"Lalu kenapa lo kemari setelah lo tolak Nami?"
Mika menghela napas lagi, "Nami langsung ngusir gue. Dia bilang dia nggak mau ketemu gue. Ya... ya udah. Gue ke mari aja."
"Dan lo malah sedih di sini," Nathan mendongak dengan penilaiannya. "Kalau lo, lo gimana sama Nami? Perasaan lo sama Nami apa?"
Mika menyesap minumannya lagi. Ada segelintir keraguan merambat bebas di sekujur tubuhnya ketika Mika berkata, "Nami udah gue anggap kayak adik gue sendiri."
"Adik? Kenapa bisa lo berpikir kayak gitu?"
"Ya memang begitu. Rasa gue sama Nami sama seperti rasa gue sama Namu, sama Ova dan Ove."
"Lo yakin sama perasaan lo sendiri? Lo lagi nggak denial kan?" Nathan terus mencecar pertanyaan. Merasa bahwa semua penjelasan Mika tidak menemukan titik terang.
"Kenapa lo malah berpikir kayak gitu ke gue?" Mika berbalik bertanya.
"Gue mau memastikan kalau lo nggak bego kayak gue dulu." Nathan meletakkan gelasnya yang sudah kosong.
"Gue dulu denial pas sama Lyana. Entah lo tau hal ini atau nggak. Dan pas saat itu gue menyesal setengah mati dengan kedenialan gue. Hampir aja gue kehilangan Lyana karena kebegoan gue.
"Gue juga merasakan hal yang sama kayak lo—ketika gue sama Lyana dulu gue anggap kalau rasa yang gue punya sama Lyana cuma sekedar rasa sayang sebagai Om terhadap keponakannya.
"Persis kayak lo bilang. Gue sampai dikerjain Kenny biar gue memahami diri gue, tapi gue masih denial sama perasaan gue. Sampai akhirnya Lyana memutuskan pergi dan gue kelimpungan sendiri. Gue kayak orang gila pas saat itu, asal lo tau. Apalagi gue berurusan sama bokap lo dan om lo—Adit."
Nathan kembali berkata, "gue nggak bermaksud menggurui lo, tapi yang lo lakukan sekarang sama persis kayak kebegoan gue di masa lalu. Gue nggak mau nantinya lo bakal bernasib sama gue dan malah lo berakhir menyesal. Lo pikirkan baik-baik, apa benar rasa yang lo punya terhadap Nami memang cuma sekedar rasa sayang sebagai kakak adik atau lebih dari itu."
"Gue... bingung..." Mika terbata-bata.
"Apa yang buat lo bingung?"
Mika ingin menyuarakan isi pikirannya, tapi bibirnya terkatup seakan ada sesuatu yang menguncinya.
"Kalau lo belum mau cerita, it's okay. Lo sepuasanya bisa di sini, main sama Namu dan Ova Ove. Cari sesuatu hal baru yang dapat merefresh pikiran lo. Tapi jangan terlalu lama. Jangan sampai pas lo baru sadar sama perasaan lo Nami justru udah pergi entah ke mana."
Mika seketika murung. Membayangkan Nami menghilang itu mendadak mencekat tenggorokannya.
"Gue percaya lo bisa ambil keputusan bijak. Lo udah hampir kepala 3, harusnya lo paham sama kemauan lo sendiri, harusnya lo paham sama perasaan yang lo rasakan saat ini. Gue sebagai wali lo cuma berpesan untuk pikirkan ulang setiap lo mau berbuat sesuatu. Terutama terhadap Nami. Baik nantinya lo dan Nami kembali bersama-sama atau sebaliknya."
Mika mencerna kalimat Nathan, lalu mengangguk mengerti. Nathan kembali mengisi gelasnya dengan wine dan meminumnya sampai habis.
Dulu El, terus gue, dan sekarang Mika—nasibnya emang sama-sama suka sama anak bocah. Lucu sekali hidup ini.
Nathan menggeleng kepala tak percaya dengan kenyataan sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheese Roll
Short StoryBagaimana perasaanmu jika seseorang yang kamu sukai adalah tetangga rumahmu sekaligus guru privatmu? ***** Sequel kedua dari Teman Kakakku. Bisa dibaca terpisah. Copyright by Octaviandri23