Part 12

269 25 2
                                    

Nami melamun, untuk kesekian kalinya. Tak ada ruang ataupun celah karena Mika memenuhi isi kepala Nami.

Mika seakan enggan pergi. Atau beranjak untuk sejenak. Jujur, Nami mulai lelah. Menjauh atau menjaga jarak yang sudah Nami janjikan pada Zoya dan dirinya sendiri ternyata sangat sulit Nami lakukan.

Melebihi soal per soal yang Mika sering berikan. Ternyata Mika serumit itu untuk hatinya.

Terkadang Nami baru memikirkannya sekarang, jika saja Nami hidup seumur dengan Mika, mungkinkah Mika akan membalas perasaannya tanpa embel-embel belas kasih sebagai adik di mata Mika.

Atau mereka tak akan pernah bertemu seperti saat ini?

Dari tempat duduknya, Nami menoleh ke jendela. Ia beranjak dan membuka sedikit tirai, melihat keadaan sebrang sana yang tampak sepi dan sunyi. Malam begitu menenggelamkan bumi. Hening menyelimuti. Lampu kamar jendela di sebrang sana dari redup menjadi terang, sontak Nami menutup tirainya cepat cepat lalu mengintip dari ujung jendela.

Mika di sana, memandang jendela kamarnya dengan tatapan sayu. Tatapan penuh arti namun Nami tak mengerti akan maknanya.

Belakangan ini Mika juga terlihat kusut. Pria itu membiarkan tampangnya terpampang jelas supaya Nami bisa menyaksikan kebingungannya dengan baik. Meski Nami masih tak mengerti saat ini kenapa pria itu sama sedihnya dengan Nami. Padahal pria itu belum lama menolaknya, seharusnya Nami yang sedih. Bukan dia. 

Ibu juga bilang kalau Mika suka menanyakan kabarnya melalui Ibu ketika Ibu sedang menyiram tanaman di depan rumah. Atau pada Ayah ketika Ayah sibuk mencuci mobil kesayangannya. Nami tahu itu karena Nami masih bisa mendengarkan percakapan pria itu dengan kedua orang tuanya dibalik kamarnya yang tertutup.

Sekarang Nami bingung dengan apa yang ia lihat saat ini. Pria itu memandang jendela kamarnya seakan dia menunggu Nami keluar dan menyapa pria itu. Seperti yang biasa mereka lakukan.

Tapi itu tidak bisa dilakukan lagi. Nami memantapkan hatinya walau ia ingin sekali menyibakkan tirai, membuka jendela dan menyapa pria pujaan hatinya dengan senyuman yang paling merekah. Dibalik pertahanan Nami, ia ingin sekali mencurahkan isi hari-harinya agar Mika tahu bahwa Nami menjalani harinya dengan sekuat tenaga.. untuk melupakannya.

Itulah tujuan Nami sekarang, menjauh, menjaga jarak. Demi dirinya yang telah patah harapan.

Maka Nami mundur dan mengubur dirinya dengan selimut. Berharap malam ini ia lewati dengan mudah.

*****

Nami terlambat, gawat!

Gadis itu buru-buru turun sambil menarik tas dan dasi yang tak tersemat dengan baik. Kekesalan merusak suasana paginya kala mobil Ayah mendadak tak bisa dinyalakan. Tidak ada kendaraan lain dan nggak akan keburu kalau Nami memesan ojek online.

"Mau berangkat bareng sama aku?"

Mika datang tepat waktu sebagai penyelamat, menyaksikan kekesalan Nami dan kelimpungan Ibu dan Ayah di pagi ini hingga Mika mendapatkan cara untuk bisa menghabiskan sedikit waktu bersama gadis kecil itu.

Awalnya Nami tak mau menerima bantuan Mika sampai Ibu dan Ayah langsung mendorong Nami beserta peralatan sekolah dan kotak bekal tepat ke mobil Mika.

Cara Mika sukses besar.

"Kok kamu bisa telat?" tanya Mika sambil mengendari mobilnya. Tatapan pria itu masih menghadap depan, memperhatikan ruas jalan sedangkan Nami diam seribu bahasa sambil memegang sabuk pengaman karena Mika tak sadar mempercepat laju mobil.

"Iya.. kesiangan.." gumam Nami sekenanya. Tak berniat menoleh karena Nami tahu bahwa ia akan luluh dan melupakan semua janjianya.

Nami, jangan sampai lengah.

"Biasanya kamu menyalakan alarm pagi." Mika sekilas menoleh dan melihat penampilan Nami belum dikatakan rapi. Kancing kemeja sekolahnya belum terkancing dan dasinya belum tersimpul. Juga rambutnya sedikit acak karena tadi Nami belum sempat sisiran.

Mika cukup tahu kebiasaan Nami, di mana gadis itu akan menyalakan alarm jika ia diharuskan untuk bangun pagi. Biasanya Nami akan menyalakan alarm sebanyak tiga kali di ponselnya. Paling telat di alarm ketiga Nami akan terbangun.

"Kayaknya aku nggak sengaja matiin." Akui Nami. Entah kapan ia melakukan itu yang pasti notif alarm ponselnya tidak muncul pada saat Nami periksa.

Sebelum Mika mengeluarkan kata-katanya, Nami menginterupsi, "Duh, di depan macet lagi." Protes Nami dan Mika melihat di depannya beberapa kendaraan berhenti karena suatu hal yang belum diketahui.

Mobil perlahan berhenti, Nami mulai kelimpungan dikejar waktu. Ditambah Nami canggung bersebelahan dengan Mika. Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara klakson kendaraan saling beradu.

"Menurutmu, kenapa orang suka berkeringat?"

Pertanyaan Mika berhasil memecah keheningan. Nami mengernyit bingung, melihat tangan Mika bolak-balik menggesek celana kainnya. Tampak basah dan lembab di sana, "Kakak mungkin kepanasan. Kelenjar air di tubuh manusia akan keluar akibat terpapar sinar matahari—"

"Kalau bukan karena kepanasan, orang bisa berkeringat karena apa?" kini tatapan mereka bertemu, dan Nami buru-buru berpaling.

"Nerveous. Orang bisa berkeringat karena grogi. Suhu tubuh manusia naik tanpa disadari sehingga kelenjar air keluar dengan sendirinya. Seperti aku saat ini." Ujar Mika dan Nami menoleh mendengar itu.

"Aku grogi di dekat kamu. Setelah sekian lama kamu jauhi aku, aku cemas dan gelisah. Aku menantikan disaat kita bisa bersama kayak gini lagi tanpa ada rasa cemas berlebihan kayak sekarang."

Nami tertegun, lidahnya kelu tak dapat berkata apapun selain menatap Mika sejenak lalu menunduk. Sebisa mungkin Mika tak boleh melihat kerapuhan Nami saat ini.

"Aku rindu Nami ketika Nami datang ke rumah lalu menceritakan kesehariannya. Aku rindu Nami ketika Nami tak henti bertanya soal latihan padaku tanpa mengenal waktu--"

"Kakak.." ucapan Mika terpotong dan Nami mendongak. Menatap tepat pada netra Mika yang kini bergetar menatap Nami di sebelahnya.

Mika akhirnya menepikan mobil di halaman sekolah Nami. Dan Nami mengatakan sesuatu sebelum ia membuka pintu mobil, mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk ke halaman sekolah.

"Kakak, boleh aku minta dukungan Kakak untuk saling menjauh sementara waktu? Minimal sampai Nami siap merelakan Kakak. Bantu aku ya Kak, aku sedang berusaha keras..

"Doakan aku supaya berhasil."

Sesuatu ini mampu membungkam Mika seribu bahasa.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang