Part 14

378 31 0
                                    

"Nami, bangunlah. Aku bawakan susu coklat."

Nami yang tergulung selimut tebal membuka mata dan mengucek mata, sedikit terkesima saat melihat kedatangan Mika dari dapur membawa dua gelas lucu berbentuk gajah. Nami nggak sadar kalau ia tertidur.

Nami langsung menerima segelas susu coklat panas dari Mika, tidak langsung diminum sebab Nami menggenggam gelas tersebut untuk mencari kehangatan lebih dulu.

Sementara Mika mengambil tempat duduk tepat di samping Nami. Pakaian Mika sudah diganti dengan kaos berlengan panjang dan celana parka panjang. Entah pakaian itu datang dan berasal dari mana. Rambutnya setengah kering dibiarkan berantakan, dan otomatis hati Nami ikut berantakan melihat penampilan Mika malam ini.

Sejenak mereka menikmati gemuruh hujan deras disertai guruh dan petir yang belum berhenti menyambar. Itulah alasan mengapa Mika masih bertahan di rumah Nami selain menemani gadis itu sampai di mana orang tuanya datang.

Merasa cukup hangat setelah menggenggam gelas susu, Nami perlahan menyeruput, "hati-hati minumnya."

Baru saja Mika memperingatkan disaat bibir atas dan lidah Nami sontak melepuh dan Nami buru-buru menjauhkan gelas tersebut.

"Panas..panas.." rengek Nami sambil mengipas bibirnya dengan tangan membuat Mika menghela napas.

Mika turut membantu Nami melihat bibirnya. Berbekal lampu elektrik yang menyala di dekat meja, Mika melihat dengan jelas bagaimana bibir Nami tampak bengkak dan sedikit memerah. Mika tak menyangka kalau akibatnya cukup fatal seperti ini.

Tanpa Mika tahu bibir bengkak itu bukanlah akibat melepuh. Nami berusaha menyembunyikan bibirnya akibat Nami terus mengigit bibirnya pada saat Mika memeluknya sebelum itu.

Sungguh! Nami sudah berusaha menahan diri supaya tidak terpana, terperangah, terpesona, atau apapun yang dapat mengakibatkan gangguan jantung yang terus berdebar tidak karuan sebab pria itu memeluknya dengan erat dan tak luput memberikan perhatian penuh terhadapnya.

"Masih sakit?" pria itu berucap tepat di wajah Nami. Ibujari pria itu dengan leluasa mengusap bibir bengkak itu tanpa tahu sebab dan akibat yang akan diterima Nami saat ini. Bahkan Nami bisa merasakan hembusan napas Mika menerpa kulitnya, wangi mint menyapa penciuman Nami membuat Nami seketika merinding. Terlalu dekat sampai Nami pun juga bisa merasakan betapa hangatnya pria itu.

Sungguh sekarang Nami takut Mika dapat mendengar debaran jantungnya dengan mudah.

"Nami, kamu mendengarku?"

Nami melepaskan diri dari lamunan, sedikit terkejut lalu mengerjapkan mata sambil mengambil sedikit jarak. Ini terlalu berbahaya. Hanya berdekatan saja membuat Nami terasa terhipnotis.

"Dengar..aku..dengar." Jawab Nami putus-putus.

"Masih sakit?" Tanya Mika dengan raut cemasnya. Mata Mika kini tertuju pada bibir Nami yang bengkak, dan basah. Bahkan pria itu menggigit bibirnya sendiri, entah pria itu sadar atau tidak. Yang Nami tahu sekarang, alarm di dalam dirinya berbunyi kata berbahaya.

"Udah nggak."

Nami segera menjauh. Melihat itu Mika terpaku dan membiarkan Nami mengeratkan selimut ke tubuhnya dan menunduk. Berharap bisa meredakan debaran yang semakin menggila akibat atensi Mika yang terlalu berbahaya.

Baik Mika dan Nami saling terdiam. Hanya derasnya hujan serta guruh dan pantulan petir menghiasi keheningan mereka. Tak ada yang berani untuk menepis keheningan mereka. Mereka berdua diam-diam sibuk memandangi sekitar yang kosong dan dikelilingi derasnya hujan.

Namun Mika tidak mau terus diam seperti ini. Justru dirinya semakin canggung. Apalagi sebelumnya mereka memutuskan untuk menjaga jarak, dan baru kali ini lagi mereka bersama-sama karena terjebak kondisi dan situasi.

"Kak.."

Mika menoleh. Agak terkejut di mana Nami yang memecahkan keheningan antara mereka.

"Hmm?"

"Kenapa hujan turunnya air? Kenapa nggak batu, pasir, atau apapun selain air?" Nami menoleh dengan raut bingungnya. Awalnya Mika ingin tertawa mendengar pertanyaan Nami. Seolah pertanyaan itu muncul untuk menghapus kecanggungan diantara mereka.

Benak Mika melatup senang. 

"Karena hujan terbuat dari uapan air laut yang terbentuk menjadi awan."

"Air laut menjadi uap air itu gimana?" Nami mengerjap, rautnya bingung.

Mika menerawang ke atas. Kedua kakinya diangkat dan Mika mengalungkan kedua tangannya diantara lutut kaki, "mula-mula proses hujan diawali dengan proses Evaporasi. Itu adalah bentuk peristiwa berubahnya air laut menjadi uap air. Itu seperti ketika kamu sedang merebus air, uapnya akan keluar dan terbang ke udara.

"Tapi uap tersebut nggak hilang begitu aja, ia tetap terbang ke atas hingga mencapai awan. Lalu uap air tersebut akan berubah menjadi kumpulan air yang mengembun dan penuh di dalam awan hingga awan tersebut akan terasa berat. Ketika awan tak dapat menampung air, air tersebut akan jatuh ke dataran." Setelah sekian lama, Mika bisa menceritakan panjang lebar bersama Nami mengenai ilmu pengetahuan.

Nami diam sambil mengangguk, ikut menerawang. "Kenapa ada guruh dan petir ketika hujan turun?"

Nami bertanya lagi disaat guruh dan petir kembali muncul. Mika beranjak melepaskan kakinya, lalu tubuhnya menghadap Nami dan menatapnya lekat.

"Aku..tidak tahu."

Nami mengerjap disaat Mika mengikis jarak mereka, tapi Nami bertanya lagi. "Kenapa Kakak tidak tahu?"

"Terkadang nggak semua orang tahu tentang segala hal, Nami." bahunya naik turun tapi suara Mika berubah. Nami menangkap adanya getaran dari suara serak milik Mika.

Lalu Nami merasakan tangan Mika berhenti tepat di puncak kepala Nami, jemari pria itu perlahan melepaskan balutan selimut di kepala Nami.

"Termasuk aku. Aku sendiri bahkan nggak tahu tentang sesuatu hal."

"Hal yang menyangkut adanya guruh dan petir?" Nami bertanya lagi, entah kenapa bibir dan lidahnya ingin mengeluarkan pertanyaan dengan tatapan yang kini menuntut jawaban kepada pria yang tengah terdiam dengan mata bergetar penuh arti.

"Bukan itu..."

Nami kini merasakan tangan Mika turun dan berhenti di tengkuk Nami. Sesuka hatinya Ibujari Mika mengusap pelan pipi Nami yang mendadak panas ditengah dinginnya malam dan hujan.

"Sesuatu pada diriku yang entah kenapa sering gelisah dan tidak tenang akhir-akhir ini. Aku..suka kebingungan sendiri."

Nami menatap matanya yang sendu, tapi ada kilatan tajam di sana. Mencoba memahami akan maksud dan tujuan Mika mengatakan hal itu karena jujur sekarang Nami dilanda gugup dan bingung.

"Apa Kakak sakit?"

Mika bergumam sambil berpikir, "kurasa..tidak."

"Coba Kakak temui Dokter. Siapa tahu Dokter tahu Kakak kenapa." Nami memberi saran. Bukannya berterima kasih, pria itu justru tersenyum.

"Kayaknya aku nggak perlu temui Dokter."

"Bagaimana Kakak tahu kalau Kakak nggak perlu temui Dokter? Siapa tahu Dokter bisa kasih solusi—"

"Aku yakin aku nggak butuh Dokter." Putusnya.

"Tapi Kakak—"

"Awalnya aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi denganku," Mika memotong ucapan Nami. "Aku juga mencoba untuk tak acuh. Sampai aku semakin bingung dengan diriku yang tak tau apa yang membuatku tidak tenang dan terus gelisah."

"Kalau gitu—"

"Tapi sekarang aku sudah tahu bagaimana caraku supaya aku tenang dan nggak gelisah lagi."

Tanpa sadar tatapan mereka kian melekat dan dekat. Deru napas mereka mulai saling terasa panas satu sama lain.

Terakhir, tatapan mereka kini berakhir pada bibir satu sama lain.

Hingga kedekatan mereka membuat Nami memejamkan matanya, lalu merasakan bibirnya disentuh oleh sesuatu yang kenyal dan hangat namun mendebarkan jantungnya hingga Nami tak mampu bernapas beberapa detik kemudian.

Mika mencium bibirnya.  

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang