Part 33

219 23 0
                                    

Sebisa mungkin Nami tunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia perlahan menerima semua kenyataan yang ada di hidupnya—seperti membantu Nadia dalam mendekorasi ruang tengah agar terlihat indah dengan menyatukan tangkai bunga buatan yang ia rangkai sedemikian rupa di setiap sisi ruang.

"Perfect," puji Nadia setelah ia baru saja menata kembali papan dekor. "Terima kasih, Nami. Kamu istirahat gih. Nanti aku sama Mika yang beresin sisanya."

Nami hanya menuruti ucapan Nadia tanpa mengatakan satu kata pun. Lebih baik ia secepatnya mengurung diri ke kamar sebelum ia bertemu dengan Mika.

Matanya pun juga masih terasa perih dan bengkak, sial sekali karena Nami menangis hampir sepanjang malam.

Dari kamar, Nami masih bisa mendengar kalau Mika sudah datang ke rumahnya berkat teriakan Nadia di bawah sana. di atas tempat tidur Nami melamun, mendengarkan sambil melamun akan bayangannya tentang kedekatan Nadia dan Mika di bawah sana saat sedang merapikan dekorasi untuk acara pertunangan mereka besok.

Terlalu asik melamun, pintu kamar Nami diketuk dan Ibu muncul kemudian. Sambil membawa nampan berisi makanan dan ia letakkan di atas meja nakas.

Ibu diam-diam tahu kondisi Nami yang memprihatinkan ini sejak Nami pulang dan bertemu dengan Nadia dan juga Mika. Juga pada saat makan malam, Nami banyak diam dan murung. Begitu pun ketika Nami membantu mendekor ruangan, Nami nya hanya sibuk menempelkan bunga dari ujung ke ujung tanpa ada ekspresi apapun selain murung.

Tidak ada gairah hidup yang Ibu temukan ketika memandang anak perempuannya ini sekarang.

Ibu berniat menghibur Nami, jadi Ibu menarik diri ke atas tempat tidur dan duduk berhadapan.

"Mau cerita sama Ibu?"

Meski Ibu tahu apa yang Nami rasakan saat ini, tapi Ibu ingin mendengarkannya secara langsung bahwa anaknya tidak sedang baik-baik saja.

Dan ketika Nami menceritakan isi hatinya, Ibu berniat untuk menghiburnya, menyambutnya dengan pelukan hangat dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Tapi Nami masih enggan membicarakan hal tersebut sebab Nami hanya menggeleng pelan dan tersenyum tipis. 

Jadi Ibu bisa melakukan niatnya tadi--mendekat dan menarik Nami ke dalam pelukannya. Pelukannya begitu erat sampai pertahanan Nami untuk tidak menangis lagi luluh lantak. Nami berderai air mata di balik bahu sang Ibu.

Untuk saat ini, Ibu hanya bisa mengusap punggung Nami yang terguncang pilu. Ibu membebaskan Nami menangis sepuasnya di pelukan yang ia berikan. Tak berniat Ibu menahan, mencegah atau menghentikan tangisan Nami. Ibu biarkan mengalir begitu saja.

Setengah jam merasa cukup, tangisan Nami memelan, lalu berhenti hingga mereka terdiam cukup lama.

Sekali lagi Ibu mengusap punggung Nami sebisanya. Tangan Ibu mulai pegal dan Nami tahu Ibunya kelelahan. Jadi Nami mengurai dan melihat Ibu yang masih setia menunggunya.

Ibu pandang wajah anaknya dengan penuh kasih. Berharap apa yang ia lakukan saat ini dapat mengurangi beban Nami yang sengaja ia tumpuk dari hari demi hari.

Sebelum mengatakan apapun, Ibu pandang lagi disaat ia menangkup wajah Nami yang penuh jejak air mata. Matanya memerah dan bengkak. Ibu tahu Nami nya sudah menangis sejak semalaman, entah kapan selesainya sampai kesedihannya masih terlihat begitu jelas.

"Anak Ibu sudah besar. Sudah tahu dan paham sama perasaannya sendiri."

Nami belum berniat menjawab. Ia memilih untuk menggenggam tangan Ibu yang keriput namun masih terasa hangat. Rasa kasih dan sayangnya juga begitu terasa ketika Nami menggenggamnya. Hal ini yang Nami butuhkan.

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang