Part 18

273 24 2
                                    

"Aku nggak mau bicara atau ketemu kakak, jadi sekarang kakak pulang aja."

Untuk pertama kali dalam hidupnya, saat setelah kenal dengan Mika bahwa Nami tak luput memberikan semua perhatian penuh terhadap pria tersebut, malam ini Nami dengan lantang memberanikan diri mengusirnya.

Dan tentu saja Mika terkejut, termenung dan tercengang di tempat. Yang biasanya Nami tak pernah melakukan ini terhadapnya sekalipun, malam ini gadis kecil itu melakukannya.

Tak hanya diusir, Nami bahkan memasang wajah antipati padanya. Bahkan hanya dengan tatapannya saja, Mika tahu Nami sekarang sedang menolak kehadirannya.

Nami yang selalu lucu dan selalu manut kini berbeda 180 derajat.

"Boleh aku tau kenapa kamu nggak mau bicara bahkan kamu nggak mau ketemu aku?" Penolakan Nami begitu tiba-tiba dan Mika tak mendapatkan jawaban sedikitpun dari isi kepalanya, maka Mika mempertanyakan hal itu. Masih tidak percaya saja kalau gadis kecil ini begitu berbeda.

Mika sejenak merasa kehilangan.

"Sudah ku bilang aku nggak mau bicara sama kakak," Nami mulai memberanikan diri untuk meninggikan suaranya juga, berharap Mika mengerti maksudnya dan lelaki itu segera pergi sebelum hatinya luluh dan menahan pria itu.

Sebab rasa kesalnya Nami belum mendominasi dengan rasa cinta yang tertanam di hati. Sekesal apapun Nami terhadap Mika, sampai bahkan Nami merasa Mika membuangnya setelah kejadian malam dan ciuman itu.

Hati kecil Nami kini berperang dengan nalarnya memaksa Nami tidak boleh seperti ini.

Tapi Mika sendiri yang membuat Nami merasa seperti ini. Ciuman mereka waktu itu tak berarti utnuk pria dewasa itu. Dan Mika tak memahami perasaannya ketika Mika membawa seorang wanita di hadapan Nami.

Apa Nami diciptakan harus selalu mengalah dengan cintanya, meski sebenarnya Nami sudah merasa lelah?

Ketika Nami hendak menutup pintu sebagai bentuk penolakkan lainnya, Mika dengan sigap menahan pintu dengan satu kakinya. Dorongan pintu yang Nami lakukan cukup mengantarkan rasa sakit di kaki Mika.

Tapi Mika tidak peduli. Mika ingin malam ini ia bisa berbicara dengan gadis kecil itu walau seluruh badannya harus kesakitan.

"Tolong keluar kak, bantu aku biar aku nggak kalah sama perasaan ku yang meminta ku untuk tetap mendengar kakak. Karena aku tau pada akhirnya hati ku sakit juga setelah ini." Nami berusaha kerasa menyingkirkan kaki Mika, tapi tenaganya tidak sekuat Mika.

"Tidak, kita harus bicara. Sebentar saja."

"Nggak mau." Nami tak lagi berusaha menyingkirkan kaki itu. Sekarang Nami harus mencari cara supaya Mika mundur dari upayanya. "Tidak perlu ada yang harus dikatakan lagi. Sebelumnya aku sudah bilang kalau aku mau nyerah sama kakak. Kalau kakak mau memperjelas lagi, aku katakan lagi malam ini kalau aku MAU nyerah sama kakak. Aku sudah paham dan aku sadar diri kalau aku nggak akan pantas buat kakak."

"Kamu bicara apa, Nami?"

Mika akhirnya berhasil menghalau Nami menjauh pintu. Sepenuhnya Mika berdiri tegap di kamar Nami, menatap penuh tuntutan ke arah gadis kecil itu.

Seketika Nami ciut. Tapi itu hanya sementara karena sekarang Nami memantapkan hati untuk bisa melawan perasaannya. Nami tak mau lagi kalah dengan perasaannya. Nami tak mau lagi mengharapkan sesuatu yang seharusnya memang bukan ditakdirkan untuknya.

"Jika kamu mempermasalahkan di kedai makanan tadi, aku cuma ikut arah Gio yang tiba-tiba mengambil tempat duduk mu. Maaf jika aku dan Gio mengganggu mu dengan teman mu—tapi temanmu menjengkelkan. Jujur aku nggak suka lihat teman mu itu."

Cheese RollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang