Di sebuh kafe kecil minimalis bernuansa putih cukup ramai dihuni pengunjung. Para pekerja sibuk menyiapkan pesanan sementara Gio dan Mika duduk di sudut kafe sembari Gio menjelaskan pekerjaan mereka yang terdengar sulit untuk dijelaskan secara terperinci.
"Kau mendengarku, Mikael?" alis Gio bertaut melihat rekan kerjanya terdiam cukup lama. Sudut matanya melirik ketika namanya terpanggil dan bergumam rendah.
"Hmm?"
"Macam mana kau ini? Mulutku hampir berbusa dan kau melamun dari tadi."
"Nggak usah berlebihan," tukas Mika sambil menyesap sisa kopinya, "aku dengar omonganmu. Aku mengerti. Bisa kita pulang sekarang?"
Gio justru melongo, "kenapa kau?"
"Nggak mood," balas sekenanya, "mau balik."
Gio berdecih, ia tahu Mika begini karena ucapannya kemarin benar adanya tentang si gadis kecil itu.
"Iya nggak mood kau. Kau begini karena si adik gemas sudah mencampakkanmu."
"Nggak usah dibahas." Ujar Nika dingin, tapi Gio ingin sekali menggodanya.
"Urusan kita belum selesai. Ada kerjaan menunggu. Dari pada kau pulang dan memikirkan adik gemasmu yang lagi usaha menjauh—"
Tiba-tiba saja Mika menendang meja hingga menimbulkan kegaduhan, cukup menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka .
"Jangan dibahas lagi! Dan nggak usah sebut adik gemas, gue nggak suka."
Mika dengan raut dinginnya bangkit dan meninggalkan Gio yang masih tercengang di tempat.
Tapi Gio senang menggoda pria denial itu.
*****
Mika baru saja keluar dari kamar mandi, lalu beranjak ke lemari dan berpakaian.
Hari sudah sore, pandangannya mengarah ke jendela sebrang. Seakan mencari dan menunggu seseorang keluar dari sana dan menyapanya hangat seperti sebelumnya.
Biasanya di sore hari Nami akan muncul di jendela kamarnya, lalu berteriak menyapa Mika atau berlari menuju rumahnya sambil membawa buku dan alat tulis untuk minta diajarkan. Atau gadis itu akan datang dengan segudang cerita yang siap Mika dengarkan sampai malam menyonsong.
Tapi sekarang, Mika hanya menatap jendela yang tertutup di sana. Tak ada Nami di sana membuat Mika termenung hingga senja sore tenggelam oleh malam.
Percakapan mereka otomatis terlintas lagi, ketegasan tanpa keraguan sedikit pun dari nada bicara dan sorot mata teduh Nami seakan mencekik Mika perlahan.
"Kakak, kita menjauh dulu ya Kak, bisa ya, Kak."
"Nanti kalau Nami udah siap, kalau Nami sudah bisa hapus perasaan Nami, nanti Nami temui Kakak lagi."
"Boleh ya, Kak?"
"Buat sementara aja kok, Kak."
Mika menyeringai, lalu meraih benda apapun di dekatnya sampai benda tersebut remuk dan terjatuh.
Semua rentetan ucapan Nami begitu penuh di kepala Mika sampai rasanya kepalanya mau meledak.
Mencoba berpikir tenang, menarik napas sedalam mungkin. Menjauh, itu mungkin menjadi sesuatu yang dibutuhkan Mika juga untuk saat ini.
Dan ini hanya sementara saja, seperti yang dikatakan gadis kecil itu. Maka Mika akan menurutinya.
Dengan senang hati.
*****
Sesuai dengan apa yang pernah mereka bicarakan, Nami dan Mika benar-benar menjaga jarak. Tak ada yang saling bersinggungan sekali pun. Bahkan jadwal les mereka pun Mika ditiadakan sementara demi menghargai keputusan Nami. Nami agak tertegun ketika Mika memutuskan itu.
Tapi itu lebih baik, pikir Nami. Usahanya untuk meredam perasaannya akan jauh lebih mudah dengan cara seperti ini. Toh tryout sekolah sudah lewat dan Nami hanya tinggal memperdalam latihan soal yang pernah Mika berikan padanya. Nami belajar dari situ saja.
Halaman demi halaman Nami balik, matanya tajam membaca satu per satu latihan soal dan coret-coretannya kemudian ia salin ke buku tulis. Satu tangannya menghitung sementara satu tangannya menulis hasil jawaban.
Rumah dalam keadaan sepi, orang tua Nami belum balik bekerja. Nami sendirian di rumah. Beruntung Ibu meninggalkan banyak makanan di rumah sehingga Nami tidak perlu memasak atau keluar untuk membeli.
Tenang, Nami cukup terbilang terbiasa sendirian kalau orang tuanya mendadak lembur.
Mendadak perutnya merintih lapar, waktunya Nami makan malam. Pukul sembilan malam dan Nami bergegas ke dapur.
Perlahan kakinya menuruni anak tangga sampai tiba-tiba saja lampu rumah Nami padam.
Nami seketika menciut. Kelemahan terbesar Nami yang jarang orang lain ketahui termasuk Zoya adalah Nami takut dengan gelap. Tak ada semburat cahaya sedikitpun memantul ke arahnya membuat Nami merosot, menangis dan meraung ketakutan.
Tapi Nami nggak bisa nangis terus, ia harus mencari sesuatu yang bisa menerangi rumahnya sementara waktu. Maka Nami perlahan beranjak dan hati-hati menuju dapur mencari lilin atau lampu elektrik yang biasa Ibu simpan.
Dengan tubuh gemetar Nami melangkah dan meraba benda di dekatnya. Mencari laci lalu membukanya untuk mendapatkan sesuatu.
Tak lama berselang hujan mulai turun deras. Petir menyambar di luar semakin menyulutkan ketakutan Nami. Guntur yang terus berdatangan tak mampu lagi menahan keberanian Nami hingga Nami tak kuasa berteriak sambil menutup kedua telinga dan memanggil Ayah dan Ibu.
Nami terus menjerit, meraung dengan tangisan yang terus membanjiri wajahnya. Nami kelimpungan, bahkan kalut.
Guntur dan petir terus berdatangan, angin hujan turut terdengar dan berisik hingga jendela berderit ribut. Namun Nami tak lagi meraung karena kini ada seseorang datang dan merengkuhnya.
"Nami, tenang, ada aku, aku di sini."
Napasnya memburu. Tubuh Nami berubah dingin karena seseorang datang dengan tubuh basah kyup.
Suara beratnya terus berbisik, mengantarkan kalimat-kalimat menenangkan hingga Nami mulai sadar siapa yang sedang memeluknya.
"Kak.. Mika.." lirih Nami dengan penuh gemetar ketakutan.
"Iya, Nami, ini aku.."
"Aku.. takut.. takut.."
Mika terus mengusap punggung Nami, menyalurkan ketenangan walau tubuhnya mulai menggigil kedinginan akibat terguyur air hujan. Dekapannya mengerat, agar Nami tak takut lagi dengan guntur dan petir yang masih menyambar di luar sana.
"Jangan takut," bisik Mika tepat di telinga Nami, "ada aku. Aku di sini."
Ujarnya sambil mengurai rambut panjang Nami. Begitu lamat memandangi Nami yang kini ketakutan di dekapannya.
"Kakak jangan ke mana-mana." Ujar Nami mendongak di dekapan Mika.
Melupakan kesepakatan yang pernah mereka buat, tak ada jarak atau pun saling menjauh. Mika memeluk sambil tersenyum, berbisik lembut dan menjanjikan bahwa semua akan baik-baik saja.
Dengan hati penu debaran, Mika menjawab, "yes, baby. I'm here."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheese Roll
Short StoryBagaimana perasaanmu jika seseorang yang kamu sukai adalah tetangga rumahmu sekaligus guru privatmu? ***** Sequel kedua dari Teman Kakakku. Bisa dibaca terpisah. Copyright by Octaviandri23