"bukan lo aja yang jago nutupin luka, gue juga bisa," Galen.
.
.
."Atas nama Galen Dharmendra!"
Lelaki itu sibuk mengusap-usap telapak tangannya yang dingin. Ia menoleh ketika namanya dipanggil oleh seorang suster. Ya, sekarang Galen berada dirumah sakit, masih memakai seragam sekolah, Galen berinisiatif untuk memeriksa kesehatannya yang menurutnya semakin memburuk.
Galen memasuki ruangan dokter spesialis kanker. Jantungnya berdegup kencang, Galen takut takdir buruk menimpa dirinya.
Dokter yang sedari tadi sibuk membereskan kertas-kertas, menoleh ketika mendapati pintu terbuka menampilkan remaja tampan berwajah pucat pasi.
"Galen, silahkan duduk," Dokter yang bernama Maya itu tersenyum hangat. Galen membalas senyuman lalu duduk di kursi tepat berhadapan dengan dokter Maya.
"Dok, bagaimana hasilnya?" Tanya Galen to the point.
Dokter Maya menghela nafas, "kamu bilang akhir-akhir ini gampang capek, dada terasa sesak, dan nafas yang berbunyi– saya sudah periksa kesehatan paru-paru kamu, namun hasilnya semakin memburuk dari minggu kemarin." Galen menatap nanar selembar kertas yang diberikan oleh Dokter Maya.
Sekuat tenaga, Galen menahan untuk tidak menangis. Ia meremat celananya, manik mata menyedihkan itu menatap sayu ke wanita dihadapannya.
"A-apa aku masih bisa sembuh?" Lirih lelaki itu.
"Biar itu menjadi urusan Tuhan, Galen, kamu hanya perlu menjaga kesehatan, jangan terlalu memforsir tenaga kamu, Saya tahu kamu anak kuat," hanya kalimat itu yang bisa terucap dari bibir Maya.
Maya turut sedih. Tak ada yang lebih menyakitkan selain memeriksa secara langsung pasien kanker dari mulai stadium awal hingga memburuk menjadi stadium lanjut. Wanita itu selalu menyaksikan bagaimana remaja malang ini selalu memeriksa pertumbuhan kankernya, harus mengonsumsi obat yang semakin hari semakin bertambah, segala keluhan Galen ia dengar, dari mulai sesak nafas, dada sakit, bahkan saat anak itu pingsan dirumah sakit karena tidak tahan dengan serangan ditubuhnya. Kini, ia menangis dalam diam, ketika ia harus memvonis parah lelaki itu. Galen harus mengalami nasip buruk yang selalu menjadi akhir bagi penderita kanker.
"Saya sudah meresepkan obat untuk kamu, jangan patah semangat walaupun obatnya semakin bertambah, anggap saja ini permen sehat yang melawan kuman jahat yang merusak tubuh."
"Terimakasih dokter, saya pamit pergi."
Galen keluar dari ruangan tersebut. Ia tersenyum kecut melihat obat yang harus ia minum, semakin bertambah jumlahnya. Galen bukan putus asa, ia hanya merasa lelah dan butuh istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Singkat Untuk Gante
Teen Fiction⚠️ WAJIB FOLLOW AKUN AUTHOR! JUDUL AWALNYA CANDALA + Belum Direvisi "Tidak perlu kata-kata ketika hati benar, karena cinta dapat didengar bahkan dalam kesunyian yang paling mematikan." Ditinggal mati oleh sang Ayahanda, serta sang Ibunda yang lagi b...