7. Bunda Drob

128 24 23
                                    

"Jangan takut, jangan sedih, kami selalu menanti waktu untuk kesembuhanmu."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

"Ibu anda harus segera dioperasi mas, jika tidak ini akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidupnya."

"Iya dok. Lakukan yang terbaik untuk ibu saya, saya mohon," lirih lelaki itu, dirinya tampak berantakan. Mendengar kabar bahwa sang ibu drob. Gante, Galen dan Dante segera berangkat ke rumah sakit detik itu juga.


Rapuh, sedih, takut dan cemas bercampur aduk didiri ketiga lelaki itu. Galen dan Dante sedang berdiri di jendela kaca ruangan ibu dirawat. Mata sayu itu memandang lekat wajah pucat sang ibu yang terkulai tak berdaya ditempat tidur dengan berbagai macam alat penunjang kehidupan yang bersarang di tubuh kurusnya.

Galen menangis, ia rindu ibunya, ia rindu suara lembut wanita itu. Wanita hebat yang melahirkan manusia gak berguna seperti dirinya.

Sudah kurang lebih enam bulan Arin hidup dengan kondisi memprihatinkan. Wanita itu mengidap gagal ginjal kronis yang semakin lama semakin parah. Ini sudah keempat kalinya ia harus dioperasi karena adanya pertumbuhan tumor ganas ditubuhnya.

"Sayangnya untuk kelancaran operasi, mas harus melunasi administrasi secepatnya, jika tidak, maaf kami tidak bisa melakukan pengoperasian lebih lanjut," jelas dokter yang kerap disapa dokter Imran.

Secara bersamaan ketiga bersaudara diam. Biaya operasi tentu saja mahal, apalagi kondisi perekonomian mereka yang bisa dikatakan miris. Gante menggeleng kepala, menampik semua suara-suara dikepalanya yang membuat ia pesimis. Demi keselamatan Ibu, Gante rela melakukan apapun, bila pun itu harus mempertaruhkan nyawanya.

"Lakukan saja operasinya dok, saya akan cari uangnya secepat mungkin, saya mohon dok ... selamatkan Ibu kami," Suara Gante terdengar serak.

"Abang akan bantu kamu Gante, kita sama sama cari uang untuk Bunda," Dante memeluk kedua adiknya. Ia merasa menjadi abang sekaligus anak yang gagal. Mempunyai sebuah keistimewaan, membuat Dante memandang dunia ini dengan sudut pandang mengerikan. Sejak kecil hingga Ayahnya meninggal, Dante terbiasa mengurung diri dirumah, menyibukkan diri dengan melukis sebuah lukisan yang mewakili kondisi hatinya. Kalau pun keluar, itu hanya sekedar menemani Ibunya berbelanja.

Gante menggeleng cepat, "gausah bang, abang dirumah aja, jaga rumah kita, nanti kalau Bunda sembuh dan kembali kerumah, bunda senang jika rumah kita terlihat rapi dan bersih," Gante memandang lekat wajah Dante, "Gante sayang sama abang, abang gak boleh capek," lanjutnya.

Galen yang semulanya diam, akhirnya membuka suara, "Gue akan kerja mulai besok, lo gak bisa larang gue, keputusan gue dah bulat!" Perkataan dari Galen membuat Gante sedikit tersentak. Ia memandang adiknya, "Len ... sudah gue-," sebelum Gante menyelesaikan ucapannya, tanpa sepatah kata pun, Galen lebih dulu melenggang pergi meninggalkan kedua kakaknya. "Len! Galen! dengerin dulu ucapan gue," panggil Gante sedikit berteriak. Ia memandang punggung adiknya yang semakin lama semakin mengecil. Gante menghela nafas berat, ia beralih menatap jendela kaca pembatas ruangan Arin.

Kisah Singkat Untuk GanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang