Ketetapan Allah

18.2K 491 5
                                    


بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Assalamu'alaikum, semuanya
selamat datang dicerita
pertama ku,
Cerita ini adalah fiktif belaka dan murni hasil pemikiran sendiri.
Jika ada kesamaan dalam nama, tokoh, atau salah satu scene itu murni ketidak sengajaan.

Selamat membaca

“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa saja hari ini kita bahagia, namun besok ada suatu hal yang membuat kita berduka. Begitupun sebaliknya.
Bisa jadi hal indah yang kita rencanakan ternyata cuma jadi angan-angan. Semua berdasarkan ketetapan Allah. Semua berdasarkan kehendak-Nya. Tak perlu risau. Barangkali ada rencana indah dibalik duka yang saat ini kita rasakan.”
——

•••

Bogor, Jawa Barat

“Kenapa kamu diam saja, Nak? Ayo masuk!” Seorang wanita yang diperkirakan umurnya mencapai 30 tahun menyeru seraya meraih lengan putrinya. Shafiya.

Shafiya—Gadis berusia empat tahun itu melangkah masuk dengan ragu-ragu.

“Ayo, Sayang! Tidak perlu sungkan, mulai sekarang rumah ini juga akan menjadi rumah kamu,” sahut seorang Pria berkemeja biru di samping Ibunya. Pria yang sejak hari ini sudah resmi berstatus sebagai ayah sambungnya.

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki melangkah cepat mendekat ke arah mereka bertiga. Shafiya ketakutan dan langsung merangkul lengan Laras.

“Hei, tidak perlu takut. Dia adalah Raftan, dan mulai sekarang dia akan menjadi Kakak kamu,” ujar Indra. Ayah sambungnya.

Raftan mengulurkan tangannya dengan senyum hangat. “Hai, aku latan ....”

Shafiya diam. Dia menatap Laras. Tatapannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak nyaman dengannya.

“Sayang, kamu nggak keberatan ‘kan kalau mulai hari ini kamu sekamar sama Shafiya?”

Mata Shafiya membulat. Sekamar? Bahkan, untuk berhadapan dengan Raftan saja dia tak berani, bagaimana tidur di satu ruangan yang sama? Shafiya meremas ujung bajunya kuat. Mau menolak, tapi dia tak berani. Yang hanya bisa dia lakukan adalah menatap Laras penuh harap. Semoga saja Ibunya itu paham dengan ketidak nyamanannya di sini.

“Tidak papa, Nak. Raftan anak yang baik, kok. Shafiya sama Raftan sekarang sudah menjadi saudara,” ucap Laras yang sukses membuat Shafiya tertohok. Dadanya sesak. Dia ingin menangis rasanya.

Raftan mengangguk. “Ayo!” Raftan menggandeng tangan Shafiya. Gadis itu dengan berat hati melangkah pergi bersama Raftan.

Laras dan Indra saling melempar senyum menatap kepergian keduanya.

“Kamu juga harus segera istirahat. Kamu pasti lelah, ‘kan?” tanya Indra menatap wajah lesu istrinya. Laras mengangguk. Keduanya juga melangkah ke kamar.

•••

Shafiya sebenarnya anak yang ceria. Hanya karena kejadian hari itu senyuman dan keceriaan dalam raut wajahnya seolah terenggut. Shafiya menjadi anak yang pemurung dan kurang percaya dengan laki-laki. Seperti Raftan contohnya. Lelaki itu berusia yang sama dengannya, hanya saja tanggal lahir Raftan tiga bulan lebih dulu dari Shafiya.

“Ayo!” Dengan tidak sabaran, Raftan menarik lengan Shafiya yang saat itu masih berada di depan pintu. Terlihat jelas jika Raftan sangat gembira dengan kehadiran Shafiya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang adik. Tak bisa dijabarkan dengan kata-kata bagaimana bahagianya dia saat Indra pertama kali mengatakan kalau dirinya akan segera punya adik.

Raftan mengeluarkan bola dari dalam lemari.

“Ayo kita main di belakang!” ajak Raftan memegang tangan Shafiya, tapi Shafiya menepisnya.

“Aku nggak mau main.”

“Kenapa? Kata Ayah, kalau kamu sudah ada, aku akan punya temen main,” ucap Raftan dengan polosnya. Apa yang salah? Indra sendiri yang mengatakan kalau dia bisa main sepuasnya jika sudah memiliki adik.

“Aku nggak mau!” Dengan marah, Shafiya melempar bola di tangan Raftan. Dia tidak suka bola itu. Dia tidak suka Raftan. Dia tidak suka berada di rumah ini. Dia ingin pulang. Dia ingin kembali ke ayah kandungnya.

Raftan menjadi kesal. Dia merasa kalau Shafiya tidak seperti apa yang ayahnya katakan. Dia lalu mengambil bola yang dilempar Shafiya, kemudian memandangi gadis itu tajam.

“Kamu kok gitu, sih? Ayah membeli bola ini buat kita main.”

“Itu ayahmu, bukan ayahku! Aku mau ketemu ayah!”

“Kata Ayahku, Ayah kamu udah pelgi. Kamu udah nggak punya ayah lagi selain ayahku.”

Shafiya tersentak. Sedetik berikutnya, gadis itu mulai menangis keras. Dan tangisan itu sampai ke kamar Laras dan Indra. Keduanya bergegas langsung menuju kamar Raftan.
Melihat Ibunya datang, Shafiya langsung berlari ke arahnya dan memeluknya.

“Ibu, Fiya nggak betah di sini. Kita pulang ke lumah Enin aja, yuk! Fiya nggak suka di sini.” Akhirnya Shafiya mengutarakan apa yang dia pendam sejak awal dia sampai di rumah itu. Tangisannya semakin sesegukan.

Laras dan Indra saling menatap. Indra menoleh pada Raftan.

“Hei, ada apa ini? Kenapa Shafiya menangis?” tanya Indra kepada Raftan. Bocah itu menyambar Indra dan bergelayut di kakinya.

“Dia jahat. Latan sebel sama dia.” Raftan mengucapkan itu sembari memasang wajah galaknya pada Shafiya.

“Ibu, ayo kita pulang! Fiya mau pulang, Bu. Fiya nggak mau di sini.” Shafiya menarik-narik tangan Laras agar segera pergi.

Laras menghela nafas pelan. Dia berjongkok, menyamakan tinggi putrinya. “Sayang ... kita nggak bisa pulang. Mulai hari ini, rumah kita di sini,” ucapnya mencoba memberi pengertian.

Shafiya menatap Laras sendu. “Fiya nggak mau di sini, Ibu ...,” lirihnya.

“Nak, maafin sikapnya Raftan, ya? Nanti Ayah bilangin Raftan supaya nggak nakal lagi sama Shafiya.” Indra ikut memberi pengertian.

“Om bukan Ayahnya Fiya!”

“Shafiya!” bentak Laras. Shafiya terkejut. Detik berikutnya, gadis itu langsung berlari keluar. Laras ingin mengejarnya, tetapi ditahan Indra.

“Biarkan Shafiya sebentar, aku paham apa yang dia rasakan. Dia perlu waktu.”

Laras sebenarnya keberatan, tapi dia merasa kalau apa yang dikatakan Indra adalah benar. Diapun mengangguk setuju dan mengurungkan niatnya mengejar Shafiya.

•••

Di sinilah Shafiya sekarang, duduk di dekat pohon di samping rumah Indra. Butiran kristal bening terus berjatuhan deras dari pelopak matanya.

“Ayah ... Ayah dimana? Kenapa ayah pelgi? Fiya mau ikut sama Ayah.” Shafiya menelungkupkan wajahnya di tumpuan lututnya. Bahunya bergetar menandakan betapa sedih dan rindunya dia dengan Ayahnya sekarang. Jika saja saat itu Shafiya tahu ayahnya bukan pergi untuk membelikannya coklat, tetapi untuk meninggalkannya pergi jauh, mungkin malam itu Shafiya tak akan dengan mudah menyetujui kepergian ayahnya. Jika saja malam itu Shafiya tahu saat-saat itu akan menjadi hari terakhirnya dia melihat ayahnya, Shafiya tak akan sedikitpun pergi dari hadapannya ayahnya dan lebih memilih bermain.

“Ayah ... apa Ayah udah nggak sayang lagi sama Fiya? Fiya minta maaf kalau udah buat Ayah kesel, makanya Ayah pelgi ...,” ucapnya sambil terus menangis.

“Ayah ... Ayah dimana? Fiya mau sama Ayah ..., Ibu udah nggak sayang Fiya lagi.”

Shafiya menunduk. Tangannya menyentuh kalung liontin pemberian Ayahnya dulu.

——

Tbc

Munajat Cinta Shafiya[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang